Minggu, 17 Mei 2015

ADAT MINANG KABAU



Tahu Pado Alam
20.4. Tahu Pado Alam
Artinya seseorang dalam hidup bermasyarakat, harus mengetahui tentang alam, sifat, ketentuan-ketentuan dan fenomena alam dengan mngetahui dan mempelajari alam dengan sekedar pentingnya, maka kita akan bisa mendapat pelajaran dan pengetahuan yang berguna untuk hidup. Tuhu pada alam akan mendapat pelajaran, pengetahuan yang bisa dijadikan guru. (alam takambang jadi guru). khususnya dalam menyelesaikan sengketa atau perkara,
21. Paham Nan Ampek (Pemahaman yang empat)
21.1. Paham Diwaktu Bungo Kambang
Maksudnya pemahaman yang diperoleh seseorang melalui pemikiran yang tenang dan mendalam tentang sesuatu masalah. Paham diwaktu bungo kambang dalam adat disebutkan “kok bicaro jalankan aka budi, diliek cuaco sadang tarang, itu maknanyo bungo kambang”.
21.2. Paham Diwakatu Angin Lunak
Maksudnya pemahaman yang diperoleh seseorang diwaktu pikiran tenang tanpa dipengaruhi oleh pengaruh lain. Dalam adat disebutkan bahwa diwaktu angin lunak iolah wakatu aman jo damai, indak dimabuak apo-apo, sadang mandapek aka budi.
21.3. Paham Diwakatu Parantaran
Maksudnya pemahaman yang kita peroleh diantara dua keadaan yang saling bertentangan. Adat mengatakan tentang paham diwaktu parantaran, iyolah antaro tinggi jo randah, antaro suka jo duko, antaro lapa jo kanyang, disinan paham makonyo dapek.
21.4. Paham Diwakatu Tampek Tumbuah
Maksudnya pemahaman yang diperoleh seseorang dengan tiba-tiba dan spontan, adat menyatakan, indak baukua dijangkokan, indak maniliak bakandak hati, dimano tumbuah sinan disiangi, dimano jatuah situ ditengok, dimano tajadi kito timbang, tumbuah dialua dituruik, tumbuah di adat kito pakai, baiak di waktu nan mandatang, baikpun gayuang nan mananti, patuik dijawab disahuti.
22. Syarikat Nan Ampek.
Syarikat maksudnya hubungan atau persetujuan antara beberapa orang yang belum ditentukan hak masing-masing. Syarikat nan ampek ini sangat penting diketahui oleh seorang pemimpin atau niniak mamak di Minangkabau, terutama sekali dalam menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan sako dan pusako. Syarikat tersebut menurut adat ada 4 macam yaitu :
22.1. Syarikat-Syarikati
Maksudnya, perserikatan yang terjadi antara dua orang dan masing-masing mempunyai modal yang sama dan usaha yang sama. Dalam perserikatan ini kalau terjadi sengketa/perselisihan maka penyelesaian harus dibagi dua. Tentang syarikat-syarikati ini, adat menyatakan samo bapokok babalanjo, samo bajariah bausaho, kabukik samo mandaki, kalurah samo manurun, kalau balabo samo dibagi. Kok maukua samo panjang, kalau mambilai samo laweh, kok baragiah samo banyak.
22.2. Syarikat-Syarikat
Maksudnya perserikatan yang terjadi antara 2 orang, dimana yang satu menanam modal dan yang satu berusaha yang didasarkan kesepakatan diantara mereka berdua. Tentang syarikat ini adat menyatakan, surang bapokok babalanjo, surang bajariah bausaho, tagantuang ateh kato mufakat, kok tumbuah disiang tantang itu, kato dahulu batapati, kayu batakuak barabahkan, janji babuek batapati.
22.3. Syarikat Mawadha
Maksudnya perserikatan yang telah terjadi demikian adanya semenjak alam diciptakan Tuhan Maha Pencipta.
22.4. Syarikat Terkayo
Maksudnya perserikatan yang terjadi antara anak kemenakan dalam suatu kaum tentang soko dan pusako di Minangkabau. Tentang hal ini adat menyatakan, nan titiak sajo bak hujan, nan inggok sajo bak langau, misalnya syarikat sagalo waris dalam hal menagakkan gala (soko).
23. Jenis Pengangkatan Penghulu
Di Minangkabau jika seorang penghulu meninggal dunia, maka gelar (soko) yang disandangnya segera akan digantikan oleh anak kemenakan yang telah memenuhi ketentuan yang telah digariskan oleh adat.
Cara penggantian penghulu atau pengangkatan penghulu ini ada 4 macam yaitu :
23.1 Mati Batungkek Budi
Mati batungkek Budi adalah cara pengangkatan seorang penghulu yang dilakukan pada hari itu juga, segera setelah seorang penghulu meninggal dunia. Biasanya cara ini dilakukan ketika pemakaman akan dilakukan dan diwaktu itu juga dilewatkan (diumumkan) kepada khalayak yang hadir di pandam pakuburan tersebut bahwa gelar (soko) yang disandang oleh datuak yang meninggal dunia digantikan oleh salah seorang kemenakan Almarhum yang bernama si A, misalnya. Oleh sebab itu cara pengangkatan penghulu seperti ini disebut juga dengan bapuntiang ditanah sirah atau gadang di pakuburan, cara pengangkatan penghulu seperti ini hanya dikenal di kalarasan Koto Piliang.
23.2. Hiduik Bakarilahan
Hiduik bakarilahan, yaitu cara pengangkatan seorang penghulu dilakukan diwaktu orang yang akan digantikan masih hidup. Biasanya cara ini dilakukan karena penghulu yang akan digantikan telah sangat tua sehingga dia tidak mampu lagi melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin dalam kaumnya. Dalam ketentuan adat dikatakan :
Kok bukik lah tinggi, lurah lah dalam
Jalan indak tatampuah, lakuak indak taturuik.
Hiduik bakarilahan ini hanya dikenal dalam sistim kelarasan Bodi Caniago.
23.3. Gadang Manyimpang
Gadang manyimpang yaitu cara pengangkatan seorang penghulu dilakukan disebabkan oleh karena jumlah anak kemenakan dalam suatu kaum sudah berkembang sehingga tidak mungkin diurus oleh seorang penghulu saja, maka diangkat penghulu baru untuk membantu penghulu yang pertama, cara pengangkatan penghulu seperti ini disebut dengan Gadang Manyimpang.
23.4. Mangguntiang Siba baju
Yaitu cara pengangkatan penghulu yang berasal dari anak kemenakan yang inggok mancakan, tabang manumpu, anak kamanakan yang inggok mancakan tabang manumpu maksudnya anak kemanakan yang berasal dari Nagari lain kemudian mengaku Mamak kepada seorang Penghulu di Nagari baru yang ditempatinya. Suatu ketika bila jumlah sudah besar. Dia bisa pula mendirikan Penghulu yang baru. Cara seperti ini disebut dengan manggutiang saba baju.
24. Larangan penghulu
Larangan terhadap Penghulu / Niniak Mamak tersebut ada 4 macam yaitu : mamakai cabua sio-sio, maninggakan siddiq dan tabliq, mahariak mahantam tanah, bataratik bakato asiang.

24.1. Mamakai Cabua Sio-Sio
Maksudnya seorang penghulu/ninik mamak sebagai pemimpin dalam lingkungan kaum, suku, korong, kampuang dan nagari, dalam berbicara sangat dilarang berkata cabul/ kotor/ jorok, karena bisa merusak kredibilitas dirinya sebagai pemimpin yang harus dicontoh dan ditauladani oleh anak kemenakan dan orang yang dipimpinnya.
24.2. Maninggakan Siddiq jo Tabliq :
Maksudnya seorang penghulu/ninik mamak dalam memimpin anak kemenakan dalam lingkungan kaum, suku, korong kampuang dan nagari sangat dilarang meninggalkan sifat Siddiq (kebenaran) dalam sikap dan tingkah lakunya. Selain itu seorang penghulu / ninikmamak sangat dilarang pula meninggalkan sifat Tabliq (menyampaikan) karena dia harus mengajak orang atau anak kemenakan untuk berbuat benar menurut ketentuan adat dan syarak. Seorang penghulu harus mampu, untuk menyampaikan kebenaran meskipun pahit. Tidaklah pantas seorang pemimpin atau penghulu disebut pemimpin apabila tidak mampu berbuat benar dan mengajak orang/anak kemenakan untuk berbuat kebenaran.
24.3. Mahariak Mahantam Tanah
Maksudnya seorang panghulu/ninik mamak sangat dilarang bersikap keras dan kasar dalam memimpin anak kemenakannya, tetapi harus lemah lembut dalam berbicara serta bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan.
24.4. Bataratik Bakato Asiang
Maksudnya seorang penghulu/ninik mamak sebagai pemimpin sangat dilarang bersikap tidak konsekwen, seorang penghulu harus konsisten dan konsekwen dalam memegang kebenaran, tidak mudah terpengaruh oleh siapapun juga, seorang penghulu sangat dilarang bersikap seperti (ibarat) baliang-baliang diatas bukik, kemana arus angin kesana ia berpihak, atau seperti bunglon, berobah-robah setiap saat melihat situasi dan kondisi yang menguntungkan. Selanjutnya seorang penghulu/ninik mamak juga sangat dilarang besikap egoistis, tidak akomodatif, tidak mau mendengar pendapat orang lain, atau bersikap benar sendiri.
25. Pantangan Penghulu
Seorang penghulu sebagai pemimpin di Minangkabau agar martabat dan wibawanya dapat terpelihara dengan baik dihadapan anak kemenakan dalam lingkungan kaum maupun dalam lingkungan suku, korong kampuang dan nagari, maka menurut ketentuan adat beberapa larangan dan pantangan yang harus diketahui seorang penghulu. Larangan dan pantangan tersebut tidak boleh di langgar demi untuk menjaga martabat dan wibawa sebagai penghulu. Pantangan penghulu ada 4 yaitu :
25.1. Parabo atau Pemarah
Seorang penghulu sangat dilarang mempunyai sifat pemarah, tetapi sebaliknya harus mempunyai sifat sabar serta bijaksana. Kalau seorang penghulu mempunyai sifat pemarah maka dia akan mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas kepemimpinannya, sebab anak kemenakan yang dipimpinnya tentu banyak mempunyai sifat dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ketentuan adat yang harus dibinanya. Oleh sebab itu sifat parabo (pemarah) ini harus di buang jauh-jauh oleh seorang penghulu. Adat sangat melarang seorang penghulu mahariak, mahantam tanah, bataratak bakato asiang, bautak ka pangka langan, babanak ka ampu kaki.
25.2. Balari-Lari
Seorang penghulu sangat dilarang sekali bertingkah laku seperti anak-anak. Bagaimanapun juga terburu-burunya seorang penghulu dia tidak boleh berlari-lari. Kalau dia berlari-lari membuat dirinya seperti anak-anak dan sifat seperti ini bisa merusak martabat dan wibawanya dimata anak kemenakan dan orang banyak.

25.3. Manjinjiang / Manjujuang Baban
Seorang penghulu juga sangat dilarang menjinjing atau menjujungbeban di kepala karena sikap seperti ini bisa menjatuhkanwibawanya sebagai pemimpin. Kalau seorang penghulu membutuhkan ia bisa minta tolong atau bantuan kepada anak kemanakannya.
25.4. Mamanjek-Manjek
Seperti halnya berlari-lari, seorang penghulu sangat dilarang memanjat pohon, apalagi pohon kelapa. Martabat dan wibawanya akan jatuh di muka anak kemenakan dan warga masyarakat Nagari.
26. Syarat Syah Pagang Gadai
Pagang gadai adalah salah satu bentuk transaksi atau peralihan hak atas harta pusaka yang telah diatur oleh Adat Minangkabau. Pagang gadai ini menurut ketentuan adat baru syah dilakukan apabila telah memenuhi ketentuan tentang syahnya perbuatan hukum pagang gadai. Syarat syahnya pagang gadai tersebut harus memenuhi 4 syarat menurut Adat Minangkabau, yaitu :
26.1. Rumah Gadang Katirisan
Maksudnya kalau rumah gadang sudah rusak, seseorang baru boleh / syah melakukan gadai, untuk memperoleh biaya guna memperbaiki rumah gadang yang rusak.
26.2. Maik Tabujua Diateh Rumah
Maksudnya karena tidak adanya biaya untuk penyelenggaraan mayat dari salah seorang anggota kaum yang meninggal, barulah seseorang tersebut bisa menggadai.
26.3. Rando gadang Indak Balaki
Maksudnya kalau ada diantara kemenakan/anak gadis (rando) atau janda yang tidak bersuami, boleh menggadaikan tanah untuk biaya mencarikan calon suami bagi anak kemenakan yang tidak punya suami tersebut.
26.4. Adat Tak Badiri
Maksudnya tidak ada biaya untuk penyelenggaraan upacara perhelatan /pengangkatan penghulu dalam suatu kaum, juga termasuk alasan gadai boleh dilakukan.
Dari syarat-syarat pegang gadai diatas dapat kita simpulkan bahwa pada prinsipnya adat mengingatkan kita bahwa kalau dapat janganlah menggadaikan harta pusaka, karena kedudukan dan peranan harta pusaka dalam kaum di Minangkabau sangat penting sekali. Kalau harta pusaka sudah habis karena digadaikan maka keberadaan kaum itu akan menjadi hilang. Karena salah satu dasar dari kaum tersebut yaitu harta pusaka, sementara harta pusaka tersebut sudah habis, sehingga dimana lagi adat tersebut bisa didirikan. Maka oleh sebab itu di Minangkabau harta pusaka tidak boleh dijual belikan. (Jua indak dimakan bali, sando indak dimakan gadai). Dan salah satu tugas dari ninik mamak / penghulu harus bisa memelihara harta pusaka tetap utuh kalau tidak akan bisa bertambah. Jadi secara tersirat alasan-alasan pagang gadai tersebut melarang kita menggadai kalau tidak penting betul.
27. Rukun Dakwa
Jika terjadi kusuik (sengketa-perkara) di Minangkabau, baik antara orang sekaum atau antar kaum/suku, maka untuk mengajukan gugatan ke pangadilan adat harus memenuhi rukun dan syarat sebagaimana yang ditentukan oleh adat. Kalau tidak memenuhi rukun/sayarat tersebut, maka sengketa tersebut belum bisa diproses oleh Kerapatan Adat Nagari. Rukun Dakwa tersebut ada 4 (empat) macam yaitu :

27.1. Ada Muda’i (Penggugat)
27.2. Ada Muda’alah (Tergugat)
27.3. Ada Muda’aliah (Objek yang disengketakan)
27.4. Ada Kalimat yang dinyatakan (lafas yang jelas)
Jika belum terpenuhi keempat syarat tersebut maka dakwa (gugatan) tersebut belum dapat dinyatakan (diterima) oleh majelis hakim.
28. Jenis Kusuik (Sengketa-Perkara)
Sengketa/perkara / perselisihan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, baik dilingkungan kaum atau suku maupun nagari, dalam bahasa adat dinamakan “kusuik”. Kusuik tersebut menurut adat ada 4 macamnya sesuai dengan katentuan alam takambang jadi guru. Macam kusuik itu yaitu :
28.1. Kusuik bulu Ayam
28.2. Kusuik banang
28.3. Kusuik rambuik
28.4. Kusuik sarang tampuo
Tingkat-tingkat kusuik tersebut ditentukan setelah melihat rumit/tidaknya suatu masalah yang terjadi. Kalau kusuik bulu termasuk masalah yang tidak rumit bila dibandingkan dengan kusuik sarang tampuo.

29. Cara Penyelesaian Kusuik/Sengketa
Untuk dapat menyelesaikan sengketa (perkara) atau kusuik tersebut ada pula 4 macam caranya yaitu :
29.1. Kalau kusuik bulu ayam, maka paruah manyalasaikan
29.2. Kalau kusuik banang, dicari ujuang jo pangkanyo
29.3. Kalau kusuik rambuik, dicari minyak jo sikek
29.4. Kalau kusuik sarang tampuo, api yang bisa manyudahi / manyalasaikannyo.

30. Cara Mendidik Anak
Anak /kemenakan adalah generasi penerus yang akan melanjutkan keturunan agar menjadi generasi penerus yang berkualitas seperti yang diinginkan oleh adat. Oleh karena itu adat di Minangkabau menunjukkan 4 cara mendidik anak/kemenakan dengan cara merujuk kepada alam takambang jadi guru. Keempat cara tersebut adalah :
30.1. Caro Baranak Itiak
Cara khas seekor itik beranak menurut alam takambang jadi guru adalah bahwa itik biasanya Cuma pandai bertelur saja, begitu bertelur siitik tidak bisa mengerami telur, apalagi untuk meneteskannya. Untuk bisa meneteskan telurnya biasanya telur itik itu dierami dan ditetaskan oleh ayam. (dibantu oleh ayam yang sedang mengeram juga) apa artinya ini ?. artinya menurut adat cara beranak itik ini tidak baik menurut adat karena itik hanya pandai bertelur saja, tetapi telur (anaknya) dierami (dipelihara) oleh ayam, oleh sebab itu kita sebagai orang tua jangan seperti itik beranak, pandai beranak, tetapi tidak pandai mendidik anak.
30.2. Caro Baranak Ayam
bebrbeda dengan itik, kalau ayam bertelur biasanya, bisa bertelur sebanyak-banyaknya sepanjang telur yang telah dikeluarkan tidak diambil seluruhnya. Kalau telur tersebut diambil seluruhnya sehingga tidak bersisa sama sekali disangkarnya (ditempat ayam bertelur) dengan serta merta siayam akan berhenti bertelur. Tetapi kalu tidak diambil seluruhnya atau masih disisakan, meskipun hanya satu butir, maka siayam akan tetap bertelur. Misalnya seekor ayam bertelur 12 butir, lalu kita ambil sebelas, maka besoknya ia akan tetap bertelur, tetapi kalau diambil ke 12 nya, maka ia akan berhenti bertelur, kalau ia bertelur 12, lalu diambil 11, 10, 9 dan seterusnya yang penting ada sisanya satu, maka ia akan tetap bertelur. Tetapi bila yang tinggal satu itu diambil pula maka siayam akan berhenti bertelur. Ini berarti ayam pandai berhitung, tetapi kepandaiannya berhitung hanya sampai satu. Apa artinya ini, artinya menurut alam takambang jadi guru, ayam hanya pandai bertelur (beranak), bahkan sebanyak-banyaknya, tetapi yang ia ketahui hanya satu ekor saja yang lain tidak, cara beranak ayam ini menurut adat Minangkabau termauk cara yang tidak dibenarkan oleh adat dan tidak boleh ditiru oleh manusia.

30.3. Caro Baranak Puyuah.
Kalau cara beranak puyuah lain lagi. Biasanya kalau seekor puyuh bertelur, telur yang telah dikeluarkan oleh si puyuh betina biasanya dierami oleh si puyuh jantan, dan puyuh betina pergi mencari makan, selama puyuh betina mencari makanan puyuh jantanlah yang mencari telur. Cara beranak puyuh ini juga tidak dibenarkan oleh adat Minanagkabau, dan tidak boleh ditiru oleh manusia. Kenapa ?, karena menurut adat kewajiban mencari makan (nafkah) itu adalah menjadi kewajiban laki-laki, bukan manusia. Siwanita menurut adat bertugas mendidik anak dirumah, sementara suami mencari nafkah. Demikianlah arti tersirat yang disampaikan oleh alam takambang jadi guru yang dicontohkan oleh puyuh dalam mendidik anak.
30.4. Caro Baranak Balam
Dari 4 cara yang diajarkan oleh adat Minangkabau dalam hal mendidik anak setelah membaca/mencontoh/merujuk pada alam (dalam hal ini itik, ayam, dan puyuh) maka cara keempat inilah yang ideal menurut adat Minangkabau yang harus dicontoh oleh manusia dalam hal mendidik anak sebagai generasi penerus.
Bagaimana halnya balam mendidik anak ?. biasanya balam kalau bertelur hanya dua butir saja. Kalau lebih dari dua, misalnya tiga, maka telur yang ketiga akan menjadi sikok (sejenis balam juga). Kemudian selama telur dierami dilakukan secara bergantian oleh balam jantan/betina. Dengan kata lain selama masa mengeram yang mencari makan dilakukan secara bergantian oleh balam jantan/betina.
Jadi cara beranak balam inilah yang harus dicontoh oleh manusia dalam hal mendidik anak. Cara inilah yang paling ideal menurut adat Minangkabu. Demikianlah cara adat Minangkabau mengajarkan orang Minangkabau dalam hal mendidik anak dengan cara merujuk pada alam (itik, ayam, puyuh, balam) dijadiakan guru.
31. Jenis Anak
Seorang anak/kemenakan, dengan mencontoh kepada alam takambang jadi guru, adat membangi pula menjadi 4 macam, dimana diantara yang 4 tersebut hanya satu yang benar menurut adat. Adapaun 4 jenis anak tersebut yaitu :
31.1. Anak Pisang
Tipe anak pisang adalah tipe anak yang diinginkan oleh setiap orang tua atau mamak. Sifat anak pisang, tumbuh dan besar disekitar orang tuanya. Kalau orang tuanya (induk pisang) sudah selesai melaksanakan fungsinya yaitu memberikan buahnya yang bermanfaat untuk manusia, maka tugas tersebut akan segera digantikan oleh anaknya yaitu memberi manfaat pula kepada manusia dengan memberikan buah kepada manusia, (jasa, budi yang baik). Demikianlah tipe anak pisang yang harus dicontohkan oleh manusia. Setiap manusia harus mampu menjadikan anak yang dilahirkan menjadi anak yang meniru sifat anak pisang, yaitu memberikan jasa baik kepada orang lain (manusia). Itulah budi yang merupakan hakekat dari adat Minangkabau.
31.2. Anak Batu Lado
Berbeda halnya dengan anak pisang, tipe anak batu lado adalah tipe anak yang harus dihindarkan / dibenci oleh adat, karena sifat anak batu lado, setiap hari kerjanya hanya mengguling (menindas) orang tuanya. Setiap hari / setiap saat kerjanya mengganggu dan merisaukan orang tua.
31.3. Anak peluru
Demikian juga anak peluru. Tipe ini adalah tipe anak yang tidak diinginkan oleh adat, karena sifat anak peluru ini begitu ia lepas dari induknya biasanya akan meninggalkan asap yang berbau busuk. Tipe anak peluru ini sering merusak nama baik orang tua / keluarga, karena sifat / tingkah lakunya yang jelek. Sering melanggar ketentuan adat atau norma-norma serta nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, misalnya sering mencuri, merampok, memperkosa serta melakukan perbuatan melawan hukum lainnya.
31.4. Anak Kunci
Tipe anak kunci ini kalau dilihat sepintas lalu kelihatan baik, tetapi sesungguhnya tidak. Biasanya anak kunci tersebut kalau pergi kemana-mana atau kembali lagi kerumah selalu minta ijin kepada orang tua, sepertinya anak yang baik atau patuh, tetapi apa yang dilakukannya sepanjang jalan atau selama ia pergi meninggalkan rumah, kita tidak tahu. Katanya ia pergi sekolah tetapi perginya ke bioskop, dan sebagainya.
32. Suok
Sebagaimana telah kita singgung dalam uraian terdahulu bahwa adat Minangkabau itu mengatur seluruh aspek / bidang kehidupan manusia Minangkabau mulai dari masalah yang sekecil-kecilnya sampai kepada masalah yang sebesar-besarnya. Hiduik dikanduang adat, mati dikanduang tanah. Mulai dari masalah yang kecil-kecil, seperti masalah politik, ekonomi, hukum dan sebagainya, juga diatur oleh adat.
Suok atau suap adalah salah satu ukuran / indikator yang dipakai oleh adat untuk menilai seseorang dalam hal makan beradat atau tidak. Apakah cara makan seorang manusia sama dengan cara makan seekor binatang atau hewan. Dengan mencontoh / merujuk pada alam takambang, maka setelah melihat pada suok seseorang pada waktu makan, dapat diketahui bahwa seseorang itu beradat atau tidak.
Ada 4 macam suok yang diajarkan oleh adat, dimana dari yang 4 macam suok ini hanya satu yang paling ideal menurut adat, yang harus dicontoh oleh manusia. Keempat macam suok menurut adat tersebut adalah :
32.1. Suok Tapak Kudo
Ukuran suok tapak kudo ini adalah ukuran suok yang tidak dibenarkan oleh adat dalam hal seseorang sedang makan, sebab suok tapak kudo ini ukurannya relatif besar dan tak sesuai dengan mungkin jo patuik, sehingga kalau makan dengan suok tapak kudo, biasanya mulut kita akan penuh, ibarat monyet makan. Disamping bentuknya tidak bagus, dari segi kesehatan juga merusak kesehatan kita, karena makanan yang kita makan tidak bisa kita kunyah secara sempurna karena ukurannya terlalu banyak.
32.2. Suok Tapak Gajah
Ukuran suok tapak gajah ini lebih besar lagi dari suok tapak kudo, dan sangat bertentangan dengan adat serta tidak sesuai dengan mungkin jo patuik. Apalagi kalau ditinjau dari segi kesehatan, disamping bentuknya yang sangat tidak baik. Tindakan ini jelas tidak beradat, karena adat mengajarkan suok kita dalam makan harus sesuai dengan mungkin jo patuik. Adat mengajarkan hiduik maniru, makan basantok. Makan sasuok duo suok, cukuik katigo kanyang, minum saraguak duo raguak, cukuik katigo pueh. Artinya bataratik (tertib) beradat, sesuai dengan mungkin jo patuik. Malabihi ancak-ancak mangurangi sio-sio.
32.3. Souk Kawik Tak Sudah
Suok (suap) kawik tak sudah ini biasanya dilakukan dengan cara meremas-remas makanan yang akan disuap, tetapi remasannya tidak sempurna, sehingga kalau diangkat kemulut nasinya akan berserakan kembali kepiring. Hal ini dilihat kurang baik, karena seperti cara makan anak kecil yang belum tahu mungkin jo patuik. Suok kawik tak sudah ini juga tidak dibenarkan oleh adat.
32.4. Suok di Ujuang Jari
Suok di ujuang jari ini adalah ukuran suok yang paling ideal menurut adat. Suok ini sangat sesuai dengan mungkin jo patuik. Ukuran ideal ini di lukiskan atau ditandai di ujuang jari, banyak tidak, sedikitpun tidak, tetapi sedang, sesuai dengan jo patuik. Bentuknya baik, terlihat sangat bataratik (Baradat). Tidak seperti monyet atau anak kecil makan nasi. Tidak bertebaran kesana-kesini, disamping itu dari segi kesehatan karena ukurannya sedang, sesuai dengan mungkin jo patuik, sehingga kita punya kesempatan untuk dapat mengunyah nasi secara baik dan sempurna. Sehingga makan betul-betul bermanfaat untuk kekuatan tubuh (kesehatan).
33. Langkah Silek
Silek (pencak silat) adalah satu bentuk seni bela diri Minangkabau. Nama lain dari silek, biasa juga disebut dengan bagaluik. Dalam basilek (bersilat) atau bagaluik di Minangkabau ada 4 gerakan pokok yang harus diperhatikan oleh seorang pendekar. Kalau keempat gerakan silek ini tidak diperhatikan secara cermat oleh seorang pendekar akan menimbulkan konsekwensi (akibat) yang sangat vital, misalnya bisa berakibat keseleo (terkilir), patah tulang bahkan yang lebih vatal lagi bisa mati. Keempat gerakan pokok tersebut dalam termilogi silek (bagaluik) di Minangkabau disebut juga langkah ampek. Langkah ampek tersebut terdiri dari :
33.1. Tagak
33.2. Malangkah (maju/mundur atau kekiri/kekanan)
33.3. Gajah Badorong (Mendorong)
33.4. Baputa (berputar)
34. Aliran Silek (Silat)
Berbicara tentang aliran silek di Minangkabau dapat kita klasifikasikan atas 2 periode, yaitu periode sebelum agama islam masuk ke Minangkabau dan periode sesudah agama Islam masuk ke Minangkabau. Pada periode sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau dikenal ada 4 aliran silek yaitu :
34.1. Aliran Silek Limbago
Aliran silek ini adalah jenis silek yang hanya dipelajari oleh orang-orang yang bijaksana dan beribawa, seperti ninik mamak dan para pemangku adat. Ciri-ciri khas dari silek limbago ini yaitu, seperti disebutkan dalam ungkapan adat : “ mancakam indak badarah, malompek indak babunyi, manusuak indak tabuak, mahariak indak kadangaran”.
34.2. Aliran Silek Biaro
Aliran silek ini adalah sejenis silek yang dimiliki oleh para pandito (pendeta) dalam menunaikan tugasnya melindungi taratak, dusun, koto dan nagari. Kita mengenal waktu itu bahwa agama yang dianut oleh orang Minangkabau adalah Agama Budha, jadi aliran silek ini banyak dimiliki oleh pendeta (pandito) agama Budha.
34.3. Aliran Silek Dubalang
Aliran silek ini banyak dikembangkan oleh dubalang dalam menengakkan hukum dan undang-undang adat. Ciri-ciri khas dari silek ini adalah keras, sesuai dengan tujuannya yaitu untuk menegakkan hukum dan undang-undang adat sebagai perisai dan penjaga nagari.
Sifat silek ini sangat bertolak belakang sekali dengan limbago seperti disebutkan dalam ungkapan adat. “Mancakam sampai badarah, manusuak sampai tambuak, manyapu sampai rabah”. Tetapi tetap menenggang alam beserta isinya.
34.4. Aliran Silek Parewa
Aliran silek ini banyak dipelajari dan dikembangkan oleh orang-orang yang hidup didunia hitam dan tidak terpuji, seperti para panyamun, perampok, penjudi dan sebagainya. Sifat silek ini sangat ganas dan buas serta bergelimang darah dan ilmu hitam.
Kemudian periode sesudah Agama Islam masuk ke Minangkabau kita kenal pula ada 4 (empat) aliran silat yang besar dan terkenal di Minangkabau.
Aliran Silek Tuo Pariangan
Aliran Silek Sungai Patai
Aliran Silek Kumango
Aliran Silek Lintau

35. Pemangku Adat (urang nan ampek jinih)
Yang dimaksud dengan pemangku adat adalah orang-orang tertentu dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang oleh adat ditugasi untuk mengurus dan mengatur kepentingan anak kemenakan dalam lingkungan kaum suku, korong kampuang dan nagari. Pengangkatan seseorang menjadi pemangku adat dilakukan melalui musyawarah mufakat dalam lingkup kaum, suku korong kampuang dan nagari. Pemangku adat ini adalah unsur-unsur pimpinan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Karena unsur pimpinan ini terdiri 4 jenis maka disebut juga dengan urang nan ampek jinih (orang yang empat jenis) yaitu : Manti adat, Malin adat, Pegawai adat, dan Dubalang adat.
35.1. Manti Adat
Manti adat adalah seorang pembantu penghulu / ninik mamak yang mempunyai keahlian dalam bidang hukum dan seluk beluk adat serta mempunyai wawasan yang luas tentang masalah kemasyarakatan. Seorang manti adat senantiasa bertugas memberikan saran dan pertimbangkan kepada penghulu / ninik mamak dalam bidang hukum dan undang-undang adat serta masalah kemasyarakatan. Tentang manti adat, adat Minangkabau menyatakan “manti adat adalah urang nan cadiak candokio, nan tau jo ereng gendeang, nan tau jo anak kemanakan, nan tau jo runciang kamancucuak, nan tau jo dahan kamaimpok, ingek jo kato kababaliak, tau jo lantai kamanjongkek, urang nan cadiak pandai, arif jo budiman, urang nan tau jo kilek bayang, alun takilek lah takalam, bulanlah sangkok tigo puluah, alun diliek lah dimakan, lah tau sabab bakeh tumbuah, hubungan kato dek panghulu, kok tumbuah silang sangketo, manti adat manyalasaikan.
35.2. Malin Adat
Adalah pembantu (staf) penghulu / ninik mamak yang ahli dalam bidang syarak (agama). Tugas malin adat adalah memberikan saran pertimbangan kepada penghulu untuk persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah agama. Malin adat biasanya dalam praktek sehari-hari banyak terlibat dalam pengurusan masalah perkawinan, kematian dan sebagainya, tentang malin ini kaidah adat menyatakan : “Malin adat adalah suluah bendang rumah jo tango, nan kamanyuluah sawah jo ladang, nan kamanyuluah balai jo masajik, manyuluah anak kemenakan. Urang nan tau jo halal haram, hak jo batil, nan manyuruah babuek baikan, malarang babuek mungkar.
35.3. Pengawai Adat
Pengawai adat adalah seorang pembantu penghulu/ ninik mamak yang bertugas untuk menjemput dan memanggil orang-orang yang diperlukan oleh penghulu/ninik mamak dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi dalam lingkungan kaum, suku, korong kampuang serta nagari. Pegawai adat adalah urang nan capek kaki ringan tangan, capek kaki indak panaruang, ringan tangan bukan pamacah, aso tarantang duo sudah, alun disuruah inyolah la pai, alun diimbau inyo lah datang.
Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Maka, kita sebagai orang tua bertanggung jawab terhadap amanah ini. Tidak sedikit kesalahan dan kelalaian dalam mendidik anak telah menjadi fenomena yang nyata. Sungguh merupakan malapetaka besar dan termasuk menghianati amanah Allah.
Adapun rumah, adalah sekolah pertama bagi anak. Kumpulan dari beberapa rumah itu akan membentuk sebuah bangunan masyarakat. Bagi seorang anak, sebelum mendapatkan pendidikan di sekolah dan masyarakat, ia akan mendapatkan pendidikan di rumah dan keluarganya. Ia merupakan prototype kedua orang tuanya dalam berinteraksi sosial. Oleh karena itu, disinilah peran dan tanggung jawab orang tua, dituntut untuk tidak lalai dalam mendidik anak-anak.
BAHAYA LALAI DALAM MENDIDIK ANAK
Orang tua memiliki hak yang wajib dilaksanakan oleh anak-anaknya. Demikian pula anak, juga mempunyai hak yang wajib dipikul oleh kedua orang tuanya. Disamping Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Allah juga memerintahkan kita untuk berbuat baik (ihsan) kepada anak-anak serta bersungguh-sungguh dalam mendidiknya.
Demikian ini termasuk bagian dari menunaikan amanah Allah. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk perbuatan khianat terhadap amanah Allah. Banyak nash-nash syar’i yang mengisyaratkannya. Allah berfirman,  “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” [An-Nisa : 58]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhamamd) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban terhadap yang dipimpin. Maka, seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya” [HR. Bukhari]
“Barangsiapa diberi amanah oleh Allah untuk memimpin lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya dalam keadaan mengkhianati amanahnya itu, niscaya Allah mengharamkan sorga bagianya” [HR. Bukhari]
SEPULUH KESALAHAN DALAM MEDIDIK ANAK
Meskipun banyak orang tua yang mengetahui, bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab yang besar, tetapi masih banyak orang tua yang lalai dan menganggap remeh masalah ini. Sehingga mengabaikan masalah pendidikan anak ini, sedikitpun tidak menaruh perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya.
Baru kemudian, ketika anak-anak berbuat durhaka, melawan orang tua, atau menyimpang dari aturan agama dan tatanan sosial, banyak orang tua mulai kebakaran jenggot atau justru menyalahkan anaknya. Tragisnya, banyak yang tidak sadar, bahwa sebenarnya orang tuanyalah yang menjadi penyebab utama munculnya sikap durhaka itu.
Lalai atau salah dalam mendidik anak itu bermacam-macam bentuknya; yang tanpa kita sadari memberi andil munculnya sikap durhaka kepada orang tua, maupun kenakalan remaja.
Berikut ini sepuluh bentuk kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya.
Pertama, Menumbuhkan Rasa Takut Dan Minder Pada Anak
Kadang, ketika anak menangis, kita menakut-nakuti mereka agar berhenti menangis. Kita takuti mereka dengan gambaran hantu, jin, suara angin dan lain-lain. Dampaknya, anak akan tumbuh menjadi seorang penakut : Takut pada bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Misalnya takut ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena seringnya mendengar cerita-cerita tentang hantu, jin dan lain-lain.
Dan yang paling parah tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri. Atau misalnya, kita khawatir ketika mereka jatuh dan ada darah di wajahnya, tangan atau lututnya. Padahal semestinya, kita bersikap tenang dan menampakkan senyuman menghadapi ketakutan anak tersebut. Bukannya justru menakut-nakutinya, menampar wajahnya, atau memarahinya serta membesar-besarkan masalah. Akibatnya, anak-anak semakin keras tangisnya, dan akan terbiasa menjadi takut apabila melihat darah atau merasa sakit.
Kedua, Mendidiknya Menjadi Sombong, Panjang Lidah, Congkak Terhadap Orang Lain. Dan Itu Dianggap Sebagai Sikap Pemberani
Kesalahan ini merupakan kebalikan point pertama. Yang benar ialah bersikap tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak dikurang-kurangi. Berani tidak harus dengan bersikap sombong atau congkak kepada orang lain. Tetapi, sikap berani yang selaras tempatnya dan rasa takut apabila memang sesuatu itu harus ditakuti. Misalnya : takut berbohong, karena ia tahu, jika Allah tidak suka kepada anak yang suka berbohong, atau rasa takut kepada binatang buas yang membahayakan. Kita didik anak kita untuk berani dan tidak takut dalam mengamalkan kebenaran.
Ketiga, Membiasakan Anak-Anak Hidup Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong.
Dengan kebiasaan ini, sang anak bisa tumbuh menjadi anak yang suka kemewahan, suka bersenang-senang. Hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli terhadap keadaan orang lain. Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrah, membunuh sikap istiqomah dalam bersikap zuhud di dunia, membinasakah muru’ah (harga diri) dan kebenaran.
Keempat, Selalu Memenuhi Permintaan Anak
Sebagian orang tua ada yang selalu memberi setiap yang diinginkan anaknya, tanpa memikirkan baik dan buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap yang diinginkan anaknya itu bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Misalnya si anak minta tas baru yang sedang trend, padahal baru sebulan yang lalu orang tua membelikannya tas baru. Hal ini hanya akan menghambur-hamburkan uang. Kalau anak terbiasa terpenuhi segala permintaanya, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak peduli pada nilai uang dan beratnya mencari nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang tidak bisa membelanjakan uangnya dengan baik.
Kelima, Selalu Memenuhi Permintaan Anak, Ketika Menangis, Terutama Anak Yang Masih Kecil.
Sering terjadi, anak kita yang masih kecil minta sesuatu. Jika kita menolaknya karena suatu alasan, ia akan memaksa atau mengeluarkan senjatanya, yaitu menangis. Akhirnya, orang tua akan segera memenuhi permintaannya karena kasihan atau agar anak segera berhenti menangis. Hal ini dapat menyebabkan sang anak menjadi lemah, cengeng dan tidak punya jati diri.
Keenam, Terlalu Keras Dan Kaku Dalam Menghadapi Mereka, Melebihi Batas Kewajaran.
Misalnya dengan memukul mereka hingga memar, memarahinya dengan bentakan dan cacian, ataupun dengan cara-cara keras lainnya. Ini kadang terjadi ketika sang anak sengaja berbuat salah. Padahal ia (mungkin) baru sekali melakukannya.
Ketujuh, Terlalu Pelit Pada Anak-Anak, Melebihi Batas Kewajaran
Ada juga orang tua yang terlalu pelit kepada anak-anaknya, hingga anak-anaknya merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Pada akhirnya mendorong anak-anak itu untuk mencari uang sendiri dengan berbagai cara. Misalnya : dengan mencuri, meminta-minta pada orang lain, atau dengan cara lain. Yang lebih parah lagi, ada orang tua yang tega menitipkan anaknya ke panti asuhan untuk mengurangi beban dirinya. Bahkan, ada pula yang tega menjual anaknya, karena merasa tidak mampu membiayai hidup. Naa’udzubillah mindzalik
Kedelapan, Tidak Mengasihi Dan Menyayangi Mereka, Sehingga Membuat Mereka Mencari Kasih Sayang Diluar Rumah Hingga Menemukan Yang Dicarinya.
Fenomena demikian ini banyak terjadi. Telah menyebabkan anak-anak terjerumus ke dalam pergaulan bebas -waiyadzubillah-. Seorang anak perempuan misalnya, karena tidak mendapat perhatian dari keluarganya ia mencari perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia merasa senang mendapatkan perhatian dari laki-laki itu, karena sering memujinya, merayu dan sebagainya. Hingga ia rela menyerahkan kehormatannya demi cinta semu.
Kesembilan, Hanya Memperhatikan Kebutuhan Jasmaninya Saja.
Banyak orang tua yang mengira, bahwa mereka telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Banyak orang tua merasa telah memberikan pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus dan sekolah yang berkualitas. Sementara itu, tidak ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar beragama secara benar serta berakhlak mulia. Orang tua lupa, bahwa anak tidak cukup hanya diberi materi saja. Anak-anak juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Bila kasih sayang tidak di dapatkan dirumahnya, maka ia akan mencarinya dari orang lain.
Kesepuluh, Terlalu Berprasangka Baik Kepada Anak-Anaknya
Ada sebagian orang tua yang selalu berprasangka baik kepada anak-anaknya. Menyangka, bila anak-anaknya baik-baik saja dan merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan, tidak pernah mengecek keadaan anak-anaknya, tidak mengenal teman dekat anaknya, atau apa saja aktifitasnya. Sangat percaya kepada anak-anaknya. Ketika tiba-tiba, mendapati anaknya terkena musibah atau gejala menyimpang, misalnya terkena narkoba, barulah orang tua tersentak kaget. Berusaha menutup-nutupinya serta segera memaafkannya. Akhirnya yang tersisa hanyalan penyesalan tak berguna.
Demikianlah sepuluh kesalahan yang sering dilakukan orang tua. Yang mungkin kita juga tidak menyadari bila telah melakukannya. Untuk itu, marilah berusaha untuk terus menerus mencari ilmu, terutama berkaitan dengan pendidikan anak, agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi masa depan mereka. Kita selalu berdo’a, semoga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi shalih dan shalihah serta berakhlak mulia. Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber :
[Disadur oleh Ummu Shofia dari kitab At-Taqshir Fi Tarbiyatil Aulad, Al-Mazhahir Subulul Wiqayati Wal Ilaj, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd] disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H oleh Redaksi Almanhaj.Or.Id
Tanamkan Budaya Minangkabau, pada Anak dan Keluarga
Description: PDF
Description: Cetak
Description: Surel

Ditulis oleh hirvan zued   
Minggu, 24 November 2013 00:00
Description: http://www.harianhaluan.com/images/stories/foto-5.jpgMusra Dahrizal
Musra Dahrizal atau lebih dikenal Mak Katik, adalah sosok yang sederhana namun memiliki prestasi selangit.Karena,  hanya mengantongi ijazah sekolah rakyat dieranya Mak Katik berhasil mengantarkan,  anaknya menjadi sarjana luar negeri. Tidak itu saja, keberhasilan Mak Katik sebagai sosok mamak seka­ligus penghulu di ranah Minang sangat di hargai. Sehingga, dalam berbagai momen adat atau kegiatan adat Mak Katik diundang, begitu juga menjadi salah satu dosen terbang di Universitas Andalas.
Menjadi dosen terbang,  tidak saja di Kota Padang,  Mak Katik juga menjadi dosen di Hawaii University. Di Hawaii University meru­pakan,  dosen terbang yang cukup ambil andil. Sehingga, peng­alamannya dalam menimba ilmu yang tidak bisa dianggap enteng membuat Mak Katik cukup sukses mendidik anak-anaknya.
Dosen kesenian Minang di HawaiI University,  sudah puluhan tahun dila­koninya. Sebab, keper­cayaan universitasi Hawaii University kepadanya sudah mele­kat.
“Saya memang kenal dan paham dengan orang luar,  atau orang Eropa namun pola men­didik anak tetap Minangkabau. Walaupun begitu, dalam berpan­dangan terhadap generasi bangsa yang sudah modern tetap harus dipilah,”urai mak katik.
Kemahiran Mak Katik dalam meng­gunakan bahasa Inter­nasional yaitu,  Bahasa Inggris membuat dia ingin anaknya menguasai bahasa Inggris juga. Hal ini terbukti,  tiga anaknya mahir Bahasa Inggris. Mak Katik dalam melihat perkem­bangan dunia,  yang cukup pe­sat ini ber­piki­ran untuk te­tap mencintai dunia Min­ang­kabau se­cara utuh. Wa­laupun dia sudah mengenal dunia luar,  dan segala bentuk sisi positip dan negatifnya.
“ Biarlan orang lain hidup dengan adat dan tra­disi yang ada. Kita yang hidup di Mi­nangkabau dengan sistim matrilinealnya. Di dunia hanya ada 2 matrilinial salah satunya di Minangkabau ini. Untuk itu, tidak ada alasan bagi kita untuk merubah cara mendidik anak dan generasi bangsa ini,­”jelasnya.
Menurut Mak katik, hanya di Minangkabau inilah adat yang memuliakan perempuan dengan harta pusakonya. sehingga tidak ada alasan lagi bagi generasi muda untuk mencari selain dari kebang­gan untuk menjadi gadis minang.
“Anak sayakan perempuan, jadi saya harus beri pemahaman yang utuh tentang Minangkabau secara utuh. tetapi tidak paku dengan segala aturan yang ada. Sebab, yang harus kita tanamkan kedalam hati anak bangsa terutama generasi Minangkabau adalah hakikat Minangkabau itu sendiri. Sehingga anak-anak tidak gampang menjual Minangkabaunya,”tegas mak katik.
Dalam mendidik anak-anaknya begitu juga anak didiknya mak katik tidak membedakan. Sehingga, dalam panggilannya pun mak katik tidak merubahnya. Karena, dengan panggilan mamak kepa­danya secara tidak langsung bertanggungjawab untuk keutu­han generasi ini.(h/oos)

Surau Dan Mesjid di Minangkabau

Ciri orang minang itu  babalai bamusaji. Ini artinya kehidupan bemasyrakat dan bergama tidak dapah dipisahkan. Bukti masyrakat itu beragama adalam mempunyai surau secara kesukuan dan mesjid secara nagari. tetapi, Saat ini kondisi surau yang berada di minangkbau sangat memprihatinkan padahal surau sangat mempunyai fungsi yang kolmplet. Dengan berbadai fungsi surau di prgunakan untuk menuntut berbagai ilmu baik ilmu agama, adat, bela diri maupun ilmu akademis. Perkembangan zaman juga memicu peralihan dan pergeseran fungsi surau. Perhatian masyarakat khususnya para pemuda terbelokkan dengan perkembangan zaman dan globalisasi yang tidak terkendali ini.  Pergeseran ini mengakibatkan surau hanya berfungsi untuk  sholat semata bahkan mengaji A Qur’an banyak yang tidak lagi dilakukan di surau.
Menurut sejarahnya surau menjadi kalah fungsi dari pendidikan yang didirikan oleh kolonial belanda.
  1. Mempertanyakan “kembali ke surau”
  2. Fungsi surau yang di inginkan
1)      Fungsi surau sebagai penyeimbang kaum muda minangkabau
Surau menjadi tempat pendidikan yang utama dalam mendidik anak muda. Setiap yang baliq harus menginap di surau. Sehingga prilaku atau kenakalan remaja yang di takutkan orang tua setidaknya dapat di minimalisir. Yang menjadi persoalan di sini adalah anak – anak atau remaja yang tidur di surau besok harinya akan sekolah.
Jawabannya ada beberapa keuntungan yang didapat ketika menginap di surau, sepertinya ini penerapan sistem asrama.
a)      Anak – anak atau remaja akan terbiasa sholat subuh sehingga sesudah sholat subuh mereka di persilakan untuk pergi kerumah masing – masing untuk paginya sekolah.
b)      Mereka yang tidur di surau dapat mengulang pelajaran dan saling bertukar pendapat bukan menyontek, sehingga pendidikan akademis mereka tidak jeblok.
c)      Membuat mereka bisa beradaptasi denga lingkungan masyrakat dan memupuk rasa kekeluargaan.
2)      Suarau temapat belajar ilmu agama, adat serta bela diri
Setiap surau yang ada diminang mempunyai halaman yang luas. Halama ini di pergunkakan untu belajar seni bela diri silat. Silat menjadi bagian penting dalam pelajaran surau. Setiap surau selalu mengajarkan silat. Hal ini dipermidah dengan ada kebudayaan yang mungkin saat sekarang susah dan mulai hilang yaitu setiap anak lelaki yang sudah mulai menginjak masa remaja atau  Aqil baliq untuk tidk tidur di rumah masing – masing tetapi mereka tidur di surau, akan menjadi aib bagi dia dan keluarganya ketiak anak yang sudah dewasa yang tidak tidur di surau.
  • Tata cara masuk anak ke surau untuk mengaji agama
Sebelum masuk surau ada sebuah kebiasaan yang harus dilakukan yaitu penyerahan anak kepada guru atau iman surau yang ada.  Biasanya setiap orang tua yang menyerakan anaknya  membawa beras yang bertujuan untuk makan anakanya, rotan yaitu bertujuan ketika anak merekan nakal atau melanggar aturan maka anak ini boleh di pukul pakai rotan yang dibawakan oleh orang tuanya tentu ini tidak samapai membuat anak cidera berbulan –bulan tapi ini hanya sebagai peringatan agar anak itu jangan nakal atau melanggar aturan lagi, yang menarik di sini adalah ketika nak ini pulang  dengan menagis dan mengadu pada orang tuanya, orang tua tidak marah kepada guru tapi malah mamarahi anaknya. Dan sekarang hanya segelinting atau mungkin tidak ada lagi cara seperti ini dilakakan ini bisa menyangkut HAM atau yang lain. Seharusnya kebiasaan ini perlu di pertahankan, sebab dengan di serahakan anak pada guru ada pembelajaran bahwa tidak semata – mata hanya guru yang mendidik  anak tapi orang tua juga ikut berperan. Dan guru juga bisa menjadi orang tua ketika anak berada di surau.
  • Tata cara anak belajar ilmu bela diri silat
Setelah anak belajar mengaji, mereka akan di ajarkan ilmu bela diri silat yang nanti berguna untuk mereka sewaktu terjuan kemasyarakat maupun pergi merantau sebagai pembela diri. Kata kata penyerahan menjadi faktor kunci dalam setiap kegiatan atau menuntut ilmu.
3)      Surau sebagai titik awal untuk Membangun karakter bangsa
4)      Suru sebagai update  ilmu agama
Ini yang sangat berperan penting adalah guru – guru yang ada. Guru – guru surau jagan kaku dengan ilmu yang ada. Ilmu semakin hri mengalami perkembangan begitu juga ilmu agama, setiap hari banyak pengalian ilmu – ilmu yang ada dalam Al Qur’an tapi ini harus hati – hati karena banyak pemikiran asing yang ingin merusak agama. Sebagai pustakanya agama, adat dan budaya minangkabau surau di tuntut untuk menjadi garis depan dalam pengembangan budaya minangkabau.
5)      Surau sebagai benteng kaum muda dan masyrakat dari pengaruh luar
Dengan adanya update  informasi baik agama maupun adat serta akademis menjadikan surau sebagai benteng utama dalam menangkis serangan luar, baik secara pemikiran, budaya maupun agama. Seseorang yang pernah atau telah didik melalui pendidikan surau setdaknya mereka dapat menimalisir pengaruh dan walaupun mereka telah terjerumus setidaknya ada sebuah kunci yang nanti bisa membut mereka berbalik untuk mencintai agama, tapi kalau tidak ada benteng maka seseorang benar – benar terjerumus.
  1. Perbandingan surau tempo dulu dengan sekarang
Sebagai tempat untuk menuntut ilmu defenisi surau pada masa sekarang akan berbeda dengn defenisi surau pada masa dahulu. Surau dalam atian sekarang hanya sebgai tempat sholat dan tempat TPA serta pada bulan ramadhan diramaikan untuk sholat taraweh. Sungguh sangat menyedihkan surau yang sangant urgen dalam pendidikan karakter remaja dan pemuda minangkabau. Di nagari – nagari yang ada di minangkabau sudah banyak surau yang tidak terwat dan hampir roboh. Mengutip sedikit novel “ Robohnya Surau Kami” disana sangat mengambarkan bagaimana surau yang terabaikan semenjak garinnya.
Zaman dahulu surau sangat ungren dari berbagai hal. Sertiap kaum atau suku mempunyai surau maka disana tempat belajar kemenakan manupun anak. Surau tidak hanya sebgai tempat sholat dan mengaji tapu surau berfuggsi tempat rapat adat, tempat belajar pidato adat dan hal tang berkenaan dengan adat, tempat belajar ilmu beladiri, disamaping itu belajar agama menjadi menu utama.
  1. Berbagai persoalan Surau.
Ada berbagai persoalana yang sekarang di hadapi dalam pembanguan karakter melalui pendidikan surau. Berbagai persoala yang harus dipecahan secara bersama sama
Berikut persoalan
  1. Kurangnya minat kaum muda untuk membangun peradaban surau
Sebagaimana yang telah dibaca maupun berbagai cerita dari orang yang telah mengenyam pendidikan melalui pendidikan surau. Pedidikan suarau untuk zaman sekarang di nomor 2 kan walaupun telah ada perda tentang kembali ke suarau tapi itu hanya sedikit membantu untuk membagun peradaban surau. Surau yang masa dalulu menjadi pusat dalam berbagai kegiatan keagaaam. Adat dan pusan pembelajaran beladiri mumangkabau tlah lama mengalami kemerosotanyang sangat tajam. Untuk menjawab persoalan itu pelu penkajian kembali fungsi surau yang sebenarnya itu pun harus didukung oleh bebagai pihak bukan di bebankan pada satu pihak. Pengkajian ini pendataan surau, pengalian asrib arsip serta pengalian naska naska konu yang tersimpan disurau.
Kita dapat menjadikan surau sebagai model pendidkan di masa mendatang. Melalui model pedidikan ini maka kaum muda yang cendrung hedonime, apatisme menjadi tertatik untuk mempelajari dan mengembalikan fugsi surau.
  1. Bangunan
Secara tidak sadar banguan surau yang kita lihat sekarang akan menjadi warisan sejarah dimasa yang akan datang, tetapi struktur bangunan surau yang telah termakan usia menjadi persoalan. Apalagi akhir – akhri ini bangak terjadi bencana. Pembanguan stukrur banguan surau menjadi perhatian. Sebagai contoh surau yang lapuk termakan usia akan mengakibatkan orang – orang enggan untuk datang kesurau karean takut roboh dan tertimpa banguan yang sudah tua.
  1. Nilai persaingan yang kurang
Semakin berjamurnya pendidikan ala sekolah secara tak lansung akan mengalakan surau dan surau du nomorduakan. Secara sistem pendidikan surau tidak kalah dengan pendidikan formal tetapi perlu pembaharuan di berbagai bidang. Bagaiman keseimbangan antara pendidikan surau sengan pendidikan sekolah seimbang. Bagaiman orang zaman dalulu bisa menjadi orang – orang besar  melampaui zamnnya hanya dengan pendidkan surau. Kalaupun pendidikan formal itu penting bissa saja pendidikan surau sebagai pendidkan tentang kemasyrakatan dan bukankah negara ini terkenal dengan aszas kekeluargaannya dan kemasyarakatan dalam berbagai bidang.
  1. Kurangnya perhatian
Kuranya perhatian dapat kita liat dari dua sisi
a)      Fakrot interen
  1.                                                                                I.            Orang – orang dilingkungan surau
  2.                                                                             II.            Masyarakat sekitar surau
  3.                                                                          III.            Pengulu (datuk) dari persukuan
b)      Faktor ekstern
  1.                                                                                I.            Perhatian pemerintah mulai dari tinggkat yang paling dasar wali nagari samapai pemerintahan daerah
  2.                                                                             II.            Orang – orang yang harus bertanggung jawab dalam bidang kebudayaan, keagamaan, LKAM, dll.
Untuk lebih efektifnya bagamana peranan tungku tigo sajarangan  minangkabau karean keseimbangan antara ini harus terjaga, jagan sampai berjalan sendiri – sndiri.
  1. Potensi surau untuk masa depan
Untuk pengembangan dari berbagai aspek baik sosila , budaya, ekonomi, dan politik peranan surau mempunya potersi dimasa mendatang sebagai model atau percontohan untuk mendidik untuk bangsa yang berragama, berbudaya dan tanggu dalam bidangnya.
  1. Pembanguan konsep SI (spritual question)
Pembanguan spritual masyarakat akan terrbebtuk melalui kedekana generasi penerus terhadap agama. Faktor agaman yang didik akan memberikan efek posotif bagi pembentukan karakater seseorang. Dengan adanya dasar agman atau spritual maka tidakan yang akan di perbuat setidaknya akan menjadikan faktor spritual sebgai faktor perbandingan. Bahkan ukan hanya sebagai faktor pembanding saja dan tidak mungkin mereka bertindak sesuai ajara agama.
  1. Pembanguana EQ ( Emosional Questian)
Emosional atau tingkah laku bermasyarakat akan terbentuk secara bertahan – tahap. Bagai mana seseorang yang didik dengan pendidian surau atau pendidikan model pendidikan surau akan melahirkan manusia – manusia  yang bermasyarakat yang mempuyai kepedulian, kekeluargaan, tenggang rasa, harga menhargai. Cara bergau secara adat ini merupan salah satu pembangunan EQ.
  1. Pembangunan IQ
Pengembangan kecerdasan generasi muda aka mudah dimulai dari pendidikan surau. Setelah mendapatkan pembanguanan generasi muda maka krisis kebudayaan minangkabau akan dapat diatasi klau pembanguan kecerdasan IQ sudah dimulai dari pendidikan surau yang notabene adalah pendidikan awal.
Oleh Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo[1][1]

 (Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Ketua V LKAAM Sumatera Barat, Ketua Dewan Adat dan Syara’ Nagari Taluk Batangkapas Pesisir Selatan, Dosen Sastra Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol, Peneliti 9 Judul Buku BAM Padang Panjang, Peneliti 12 Judul Buku BAM Padang, Peneliti 2 Judul Buku BAM Pesisir Selatan.  Makalah disampaikan sebagai nara sumber pada Pelatihan Guru BAM SD, Diknas Kota Padang, 4 Desember 2012.)



Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigqkvUMAkN8Baxog32L2kohQKzIpHNAPSWKsFDg0dFi_dN-_b_TNooipMaZj6rul3taZxx94lq9xLxEOhL7Y6KUNt2EaI0LtZzolIzDYEnVAgvYEtntsXvJeku2KMpYn7RA4xxLqQ8l1Jt/s320/Yulizal+Yunus.jpg


Generasi muda (pemuda) anak atau kamanakan (nan mudo) di Minangkabau eksis dalam setiap limbago adat di Minangkabau. Anak dari ayah kamanakan dari mamak, waktu kecil menjadi anak atau kamanakan, setelah besar menjadi mamak. Anak kamanakan tidak terpisah dalam kelembagaan ninik mamak. Dalam kepemimpinannya ninik mamak mengayomi kamanakan disimbolkan kayu gadang di tangah koto dan atau baringin di tangah padang. Anak kamanakan dapek balindung di kerimbunan dedaunnya dari kepanasan dan kehujanan, urek tampek baselo, batangnyo tampek basanda. Kamanakan dalam suasana nyaman balinduang di keteduhan leadership ninik mamak mendapat pencerahan dan memotivasi untuk babudi elok baso katuju (bersih dari dago dagi), berperan menjadi parik paga di nagari, memberikan keelokan pada tepian (nagari), mengerti dan sadar hukum adat di nagari (Undang Undang dalam Nagari dan Undang Undang nan- 20). Dengan peranan ninik mamak dan rang mudo (anak kamanakan) tidak ada celah di Minangkabau masuknya orang-orang yang berprilaku intoleransi dan bahkan teroris, karena nagari bagi mereka: malam badanga-danga, siang bacaliak-caliak dan kok jauh baulangi – kok dakek bakandano.


Inti Minang adalah nagari. Nagari sebagai wilayah pemerintahan dalam system NKRI banyak yang mengurus. Namun nagari sebagai subkultur dan geneologis atau inti Minang itu tak banyak yang mengurus. Kalau tak diurus ninik mamak dan generasi muda (anak kamanakan) sebagai parik paga nagari, akan lenyaklah Minangkabau.
Dalam beberapa artikel dan makalah, saya sering membentang. Di antaranya makalah “Nagari dan Pandangan Anak Muda (Menilik Buku “Utopia Nagari Minangkabau” Karya Hasri Fendi dan Lindo Karsya) di Unand Padang, 27 Mei 2002, membentangkan peran generasi muda(anak kamanakan) dalam perahu kelembagaan ninik mamak di nagari.
Kamanakan barajo jo mamak, mamak barajo jo panghulu, panghulu marajo jo kamufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana manuruik alua jo patuik. Petitih ini membentangkan struktur pemerintahan menurut adat. Kamanakan dan mamak sama-sama berada dalam hukum adat di nagari. Jelas sekali yang memegang kekuasaan tertinggi sesungguhnya adalah kebenaran, dilaksanakan menurut alua dan patuik (alur dan patut). Ninik mamak dengan kepemimpinannya sebagai seni memberikan motivasi dan menggerakkan anak kamanakan, merasa nyaman, aman dan damai berperan sesuai fungsi masing-masing. Mamak santun, kamanakan memuliakan dan bersih dari dago dagi (prilaku tak hormat), sehingga terwujud kualitas Sumber Daya Manusia (kualitas mamak – kamanakan) di Minangkabau: mamak disambah urang/ kamanakan dipinang urang pulo.

I.         Peranan dan unsure yang berperan di Minangkabau
A.       Pernan konsep sosiologis dan syarat berperan

Dari sudut pandanga (perspektif) sosiologis peranan itu sebuah konsep sosiologi. Dari konsep sosiologis ini diketahui ada persyaratan yang member peluang orang/ kelompok untuk berperan. Setidaknya ada tigak hal yang membuat orang kondusif berperan: (1) aktifitas dengan berbagai kegiatan, (2) keduduk/ status jelas dan (3) mempunya charisma dan atau disegani.
Ketiga hal ini akan memberi bentuk kualitas kepada seseorang/ kelompok. Bila ketiga hal ini dimiliki ninik mamak dan kamanakan, maka mereka akan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan menguntungkan bagi keberlanjutan Minangkabau. Mamak akan disambah dan kamanakan akan dipinang orang pula sebagai pelaksanaan misi nagari dan adat Minangkabau.

B.            Unsur yang berperan di Minangkabau
Di nagari Minangkabau banyak unsur yang berperan berbasis di lembaga (dulu) Kerapatan Nagari (KN) sekarang Kerapatan Adat nagari (KAN). Di antara unur yang terpenting, unsur fungsionaris tali tigo sapilin dan tungku tigo sajarangan yakni: (1) unsure ninik mamak dipimpin penghulu dan atau datuk, (2) unsure ulama dipimpin ketua majelis ulama nagari dan atau tuanku, (3) unsure cadiak pandai dipimpin yang cerdik cendekia dan atau yang piawai. Khusus unsure ninik mamak berbeda dalam ada salingka nagari. Pada nagari bekas kerajaan di Minangkabau, Datuk berbeda dengan penghulu, menunjukkan dua limbago adat yakni limbago paruik dan limbago kampuang. Di dalam kelembagaan penghulu/ datuk secara umum ada urang nan-4 jinih yakni: (a) penghulu, (b) manti, (c) malin dan (d) dubalang. Di bawah lembaga malim ada urang jinih nan-4 pula yakni: (a) imam, (b) katik, (c) bila dan (d) qadhi. Dari perspektif fungsi pengamanan, pemuda berada dalam barisan dubalang yakni sebagai menjaga ketahanan nagari dan khusu pemuda sebagai parik paga nagari.
Selain itu dari unsure anak kamanakan (nan mudo - generasi muda) satu sisi menjadi generasi baru membuat elok nagari, di sisi lain yang bersekolah tinggi masuk kepada cadiak pandai dan kalau sudah besar (berkeluarga) menjadi mamak atau bapak. Unsur yang tidak kalah pentingnya adalah Bundo Kanduang bersandiang dengan Bapak (disebut mandeh bapak) yang di bawah telapak kakinya “sorga anak kamanakan”, karenanya disebut unduang-unduang ka sarugo (al-jannatu tahta ummahat – sorga di bawah telapak kaki ibu).
Karena itu semua unsure ini di Minang mempunyai fungsi penting, di antaranya terlihat dalam kesan bidal orang Minang sbb.:

Elok tapian dek nan mudo
Elok nagari dek pangulu
Elok musajik den tuanku
Elok rumah dek bundo

Khusus Bundo Kanduang sebagai cahayo rumah salendang dunie, unduang-unduang ka sarugo ialah penyelamat utama mulai dari duniawi (rumah, masyarakat, bangsa dan Negara) sampai ke akhirat. Karenanya di bawah paying mamak, kaum ibu yang efektif mengayomi anak kamanakan (pemuda pemudi) dan membuat mereka budi dan berbudaya santun sebagai modal menyelamatkan masyarakat dan bangsa.
Ibu (mandeh bapak) ingin paling ingin ka nan elok. Mulai dari anak sampai ke minantu. Caliak anak pandang minantu, mato nan condoang ka nan elok. Artinya mandeh bapak sudah dibekali nilai mencari menantu yang sesuai dengan anaknya sehingga melahirkan anak cucuk nan elok.
Ibu adalah induak dalam limbago adat paruik dipayungi mamak (tunganai dan atu datuk) yang disebut pemimpin. Tugasnya penting dalam memainkan peran memelihara anak kamanakan. Tugas ini tergambar dalam pribahasa Minang sbb.: Bak ayam indak ba induak, umpamo siriah indak ba junjuang. Artinya anak kamanakan (rakyat) akan kucar kacir bila tidak ada atau ditinggalkan pemimpin.
            Karenanya dalam memelihara tugas sesuai dengan fungsi masing-masing pemimpin di Minang, seorang pemimpin (mamak dan mandeh bapak) yang piawai akan mencari usaha kongsi alternatif untuk menghidupi anak kamanakan (sejahtera dan aman). Karena di Minang seorang mamak dan bapak tidak baik hanya menghidupi anaknya sendiri, tetapi bersama-sama kamanakannya. Anak dipangku kamanakan dibimbing. Anak dihidupi dengan pencaharian utama dan kamanakan dihidupi dengan pusaka tinggi dan usaha kongsi untuk anak kamanakan. Kepiawaian pemimpin Minang mencari usaha kongsi itu dilukiskan dalam sastra Minang: Padi dikabek jo daunnyo, batang ditungkek jo dahannyo.
Kinerja piawai mamak dan mandeh - bapak Minang ini merupakan bagian upaya budi elok baso katuju, meninggalkan jasa baik kepada anak cucu dan masyarakat secara umum. Upaya meninggalkan jasa ini terlukis dalam sastra Minang: Pulai batingkek naiak, maninggakan ruweh jo buku, manusia batingkek turun, maninggakan barih jo balabeh.

II.           Ninik Mamak dan Peranannya
A.      Ninik mamak, penghulu dan atau Datuk

Dari perspektif sosilogis, salah satu peluang berperan dengan baik, status/ kedudukan jalas. Pangulu dan atau datuk sebagai pemimpin ninik mamak, didahulukan selangkah ditnggikan seranting. Mereka punya keduduka kuat dalam kaumnya. Penghulu tagak di pintu adat, dihormati sebagai gadang basa batuah.
Dalam berperan penghulu dibantu malin, tempat bamufti (tempat minta fatwa). Malin justru tagak di pintu agamo, dihormati sebagai suluah bendang dalam nagari. Dalam membantu penghulu/ datuk menyelesaikan sengketa, dibantu manti. Justru manti tagak di pintu susah, dihormati piawai dalam manyalasaikan silang sangketo anak nagari, tahu ereng jo gendeng, mauleh indak mangasan. Demikian pula dalam mengeksekusi silang sengketa, penghulu dibantu dubalang, posisinya tagak dipintu mati, berperan sebagai pengamanan huru hara, batuhuak ja baparang.
Penghulu duduk dilimbago kaum/ suku/ kampung berperan mengayomi anak kamanakan baik dari limbago paruik/ jurai sampai ke kaum suku di kampung. Di limbago nagari di wadah Kerapatan Adat Nagari (KAN) penghulu dimungkinkan dipercayakan sebagai Pucuak adat dan atau ketua KAN, statusnya berada pada pucuk pimpinan adat di nagari. Pucuk adat ini setidaknya didukung Datuk ampek suku, Penghulu andiko di limbago kaum suku di kampung serta urang nan-4 jinih (+ jinih nan-4) untuk melaksanakan peranannya mengayomi anak kamanakan dan masyarakat adat di nagari.
Mengayomi dimaksud di antaranya peran menciptakan peluang bagi kamanakan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas serta tuah dalam nagari. Pengulu menghindari diri mencari keuntungan dalam kaumnya. Ajaran ini diisyaratkan dalam bidal orang Minang: Mancari dama ka bawah rumah, mamapeh dalam balanggo, artinya mencari keuntungan ke dalam lingkungan anak kemenakan sendiri di paruik/ jurai dan atau kampung. Justru penghulu serta seluruh ninik mamak memposisikan diri berperan: Pusek jalo kumpulan ikan, pucuak usah tarateh, urek ijan taganjak.Artinya pimpinan mulai dari ninik mamak sampai mandeh bapak (ibu dan bapak) memposisikan diri menjadi tumpuan harapan dan sumber keteladanan dan contoh yang baik  bagi anak kamanakan dan kukuh menghadapi segala tantangan dalam memimpin anak kamanakan.
Kalau terjadi hal-hal yang dapat menyulut perasaan dan menyita pikiran, penghulu harus: balawik leba – bapadang lapang. Raso dibaok naiak, pareso dibaok turun. Artinya penghulu sebagai pemimpin harus luwes, besar jiwa, lapang dada, cerdas perasaan diseimbangkan dengan kecerdasan berfikir rasional, sehingga berpotensi sebagai sumber pembentukan pribadi/ karakter berbudi anak kamanakan.
Cerdas dalam perasaan dan berfikir diaplikasikan saat menghadapi problema dalam kaum. Saat melihat fenomena anak kamanakan dan kampung harus dikembangkan, berlaku petatah/ pepatah: Sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan. Artinya penghulu yang baik tidak membiarkan anak kamanakannya berbuat tidak baik, ada saat menyangi dengan memberi reward, tetapi tidak meniadakan tindakan memarahi saat salah dengan funisment yang mendidik. Demikian pula saat mengabadikan rasa cinta pada kampong (kaum suku), tidak harus bertopang dagu dan atau berpangku tangan membiarkan kampung melarat, saat harus meninggalkan kampung, harus dilakukan mencari pengalamanan/ pengetahuan bagi perbaikan kampung ke depan. Tindakan penghulu seperti ini bagian dari contoh yang diberikan dalam perannya untuk mendidik anakan kamanakan berbudi.

B.     Mengajar anak kamanakan babudi elok, basok katuju, sopan dan santun
Anak kamanakan berbudi elok, baso katuju serta sopan dan santun, tidak tergantung dari tinggi rendahnya ilmu yang dimiliki. Justru karakter itu menjadi prilaku, bila dilakukan pembiasaan. Penghulu dulu dalam mendidik kamanakannya babudi elok, dididik di surau suku dengan mengajar trilogi: adat (buek) dan agama (syara’) serta silat (bela diri dimulai dari kekuatan silaturrahmi). Seolah surau suku yang dipimpin ninik mamak itu merupakan simbol budi anak kamanakan.
Salah satu ciri kamanakan berbudi elok dan sopan, terlihat dalam sikapnya, tak pernah membesarkan diri, meski ia orang besar, tidak meninggikan diri meski punya ilmu tinggi. Adat Minang mengisyaratkan bagikan padi, makin berisi makin tunduk, artinya makin besar, makin merendah. Orang Minang mengajari penghulu dan anak kamanakan mempunyai sikap menghormati orang besar dengan prilaku tidak membesarkan dan meninggikan diri. Kata orang Minang: barakyat dulu mangko barajo, jikok panghulu bakamanakan. Kalau duduak jo nan tuo pandai nan usah dipanggakkan. Artinya ketika seorang anak atau kamanakan duduk bersama orang tua (baik usianya tua mau yang dituakan/ditinggikan seranting) menghindari diri untuk membanggakan diri dengan kepandaian, kebesaran dan atau kemuliaan yang dimilik, dan menjatuhkan martabat oerang yang dibesarkan dalam duduk bersama.
Karenanya karakter anak kamanakan dengan prilaku baik secara faktual banyak berpangkal dari didikan mamak dan mandeh bapak. Sering anak salah ditanya orang siapa mandeh bapaknya, kamanakan tak sopan ditanya orang siapa mamamknya. Orang Minang mengisyaratkan dalam petatahnya: barajo Buo Sumpu Kuduih tigo jo rajo Pagaruyuang, Ibu jo bapak pangkanyo manjadi anak rang bautang, artinya prilaku salah seorang anak kamanakan banyak ditentukan didikan mamak dan mandeh bapak (ibu – ayah). Karenanya ayah satu sisi juga berperan sebagai mamak di kampungnya. Rusak adat, ketika ayah hebat, ia memutuskan hubungan anaknya dengan mamak anaknya itu. Sebab seorang ayah ia juga mamak di kampung ibunya, coba bayangkan sedihnya hati dan rusaknya adat kalau urang sumando (ayah dari kamanakannya) memutuskan hubungannya sebagai mamak dengan kamanakananya. Apalagi sejak kecil mamaknya pernah membantu kamanakannya sekolah, menuntut ilmu, tiba-tiba sumandonya (ayah kamanakannya itu) gagah dan kaya, tak memandangnya sebelah mata dan hubungan kamanakan diputus, dan kamanakan tak pula menghormati mamaknya itu, coba betapa hancurnya hati mamak. Itu yang disebut orang Minang: bak manggadangkan anak ula, umpamo mamaliharo anak harimau. Artinya kamanakan kecil dibantu mamak sekolah mencari ilmu, tetapi setelah ia doktor dengan sekolah nya yang tinggi dan profesor sebagai pangkat guru besar, pulang kekampung ia jahat kepada mamaknya dan merendahkan mamaknya disebut tak sekolah, dan membanggakan ayahnya orang hebat. Ia menjadi anak ula (ular) dan atau anak harimau.  Ia lupa ayahnya juga mamak di kampung bakonya, bagaimana pula kalau ayahnya dilecehkan kamanakannya, pedih apa tidak hatinya.
            Mengajar anak kamanakan berbudi oleh penghulu, diikuti pencerdasan oleh mandeh bapak dengan melaksanakan ajaran syara’: melaksanakan rukun iman dan rukun Islam seperti bersyahadat, ibadat shalat, zakat, puasa dsb. Pepatah orang Minang mengingatkan utang orang tua mengajar pengamalan agama: biasokan anak-anak jo sumbayang, aja batauhid sarato iman/ santoso dunia jo akhiraik/ lapeh utang ibu jo bapak.
Orang tua terutama ibu memberikan jaminan kepada anaknya keselamatan di dunia dan akhirat. Ibu di Minang bagian dari bundo kanduang. Makna seorang ibu dalam syara’ (Islam) disebutkan sarugo di bawah telapak kaki ibu, dalam adat disebut bundo undung-undung ka sarugo. Artinya seperti tadi disebut: didikan ibu yang baik membawa anak senang dan damai di dunia dan sarugo dunia akhirat. Senang dan damai itu disebut sorga.
Karena dalam mendidikan anak, orang tua harus memulai dengan yang baik. Orang Minang mengisyaratkan: kalau kuriak induaknyo rintiak anaknyo. Artinya ibu bapak yang baik akan melahirkan anak baik. Makanya nenek moyang Minang berfikir jauh kedepan seperti mempunyai indra keenam agar tidak meninggalkan anak cucu yang lemah baik dalam harta (mninggalkan pusaka tinggi0 maupun berperinsip dan berakidah serta beibadah. Orang Minang mengajarkan: kok alah sampai di hulu, balunlah pulo sacukuiknyo. Dek kokoh niniak nan dahulu kunci nan limo pambukaknyo. Artinya nenek moyang Minangkabau jauh kedepan memikirkan kekuatan SDM, kesejahteraan, kemuliaan anak cucuk dengan menggunakan kelima indranya bahkan memiliki indra keenam.
Terasa benar nenek moyang Minang hidup mulia mati meninggalkan jasa, dikiaskan dalam petatahnya: mati harimau tingga balang, mati gajah tingga gadiang. Artinya penuh dengan kemuliaan dan meninggalkan jasa baik bagi anak cucuk (keluraga dan masyarakat), bagian pendidikan mereka kepada generasi muda sepanjang masa. Nenek moyang tak ingin anak cucunya melarat disebabkan orang tuanya. Ini tersirat dalam ungkapan: Indomo di Saruaso, Datuak Mangkudun di Sumaniak, sabab anak jatuah binaso, ibu bapak nan kurang cadiak.  Karenanya pula orang Minang di samping mewariskan pusaka tinggi, juga menyuruh berhemat untuk tidak menjual pusaka tinggi dengan sikap berpoya-poya dan ba-dunia. Lihatlah dalam petitihnya sbb.:

Dari ketek mulai baimaik,
untuak tunaikan rukun kalimo,
baraja imaik jadi didikan
sanang santoso akhia kamudian.

Sikap hemat diajari: simpan yang ada dan makan yang tak ada. Artinya yang ada disimpan, untuk dimakan sehari-hari rajin mencari dan sisakan, hematkan dan tabungkan. Dengan sikap hemat menabung dan rajin berusaha keras agar bisa menyisakan pencaharian olah orang tua Minang, banyak maksud yang bisa dicapai, kalau dalam Islam bisa ke Makah naih haji menunaikan rukun Islam kelima.
Dengan cara itu, satu di antara kiat generasi Minang untuk kuat, berguna dan punya kehormatan. Orang Minang tak ingin anaknya lemah dan hanya menjadi tenaga cadangan dan tidak utama. Kias orang Minang: calak-calak ganti asah, pananti tukang manjalang datang, panunggu dukun manjalang tibo. Artinya jangan generasi Minang tidak memposisikan dirinya sebagai pemeran utama, harus yang utama dan di garda terdepan diharapkan masyarkat, bangsa dan negara.


III.        Generasi Muda dan Peranannya
A.      Generasi Muda itu anak atau kamanakan
Yang disebut generasi muda di Minang adalah anak dan kamanakan. Anak dari mandeh bapak dan kamanakan dari mamak. Mereka disebut rang/ nan mudo. Kedudukan nan mudo yang kuat di Minang, menentukan pula kuatnya sesuai fungsinya. Fungsi nan mudo, membuat tepian menjadi elok, membuat visi “nagari menjadi aman dan damai”. “Banyak urang lua datang meminang nan mudo”, mencerminkan kualitas kamanakan.
Untuk memelihara fungsi dan martabat nan mudo (bujang dan gadis) orang Minang merawat prilaku dan mencegah perbuatan sumbang. Seorang gadis duduk tagak, melihat dan tidur tidak oleh sembarangan. Dalam tagak dan melihat misalnya, apa kata orang Minang: gadih panagak ateh janjang, gadih pancaliak bayang-bayang, artinya anak gadis sumbang kalau sering tagak di janjang dan sering mematut-matut bayang.
Karenanya pula anak kamanakan di Minang diajari mana yang sah dan mana yang batal. Yang menunjuk ajarinya adalah tanggung jawab mamak dan orang tua. Petatah orang Minang menyebut: partamo lareh nan tinggi, kaduo lareh nan bunta, kalau tak pandai kito mambimbiang indak katantu sah jo bata. Artinya, kalau bapak/ mamak tidak memberikan bimbingan sungguh-sungguh kepada anak kamanakan, mereka tidak akan tahu sah dan batal.
Kadang rayuan sesuatu yang batal itu manis. Orang Minang mengingat dalam bidalnya: Mati samuik karano manisan, jatuah kabau dek lalang mudo. Artinya, orang sering terpedaya mulut manis dan budi bahasa yang baik. Kadang di luarnya manis, di dalamnya batambiluak. Rayuan manis itu sering pula tak berakar pada budaya sendiri, tergoda budaya asing, manis di luar, di dalamnya/ isinya menjatuhkan martabat. Orang Minang mengingatkan nan mudo biaso bimbang, manaruah rambang jo ragu, kalau batimbo ameh datang, lungga lah ganggam nan dahulu. Artinya, sikap meniru-niru kebudayaan yang tak berakar pada budaya sendiri (asing), yang isinya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita, bahkan menggusur kebudayaan sendiri sehingga kehilangan pegangan dan jati diri.

B.     Parik paga di nagari bersih dari dago dagi
Rang mudo (pemuda) di Minangkabau berfungsi sebagai pengkal dini pengganggu keamanan secara preventif. Karenanya mudo di Minang, agar lebih berfungsi dan disegani, maka mereka menjaga diri dari tindakan yang memalukan, tidak melakukan perbuatan sumbang salah dsb. Karena itu dahulu mengajar cerdik mandeh bapak dan mengajar berbudi sopan santun adalah ninik mamak di Surau. Di surau ninik mamak/ suku ini diajar trilogi: agama, adat dan silat. Dari tiga pengetahuan ini dieksplisitkan prilaku sopan santun, budi baik, baso katuju, tak pernah nan mudo kurang ajar kepada nan tuo seperti prilaku mandago mamak, tak sopan kepada orang tua dsb. Penghulu punya tanggung jawab memelihara anak kamanakannya melalui mamak. Kata orang Minang: dago dagi mambari malu, sumbang salah laku paragai. Kalau lungga ganggam panggulu, cupak jo gantang katasansai.Artinya penghulu harus memegang peraturan adat dan agama dan memberikan pemahaman dan penghayatan kepada anak kemenakan, sehingga mereka tidak pernah mandago mamaknya.
Cara-cara orang Minang seperti itu mendidik nan mudo, agar anak muda tahu menghargai dirinya dan bermanfaat bagi dirinya di samping untuk orang lain. Yang dihindari orang Minang: bak mamaga karambia condong, bak ayam baranak itiak, artinya pengetahuan anak muda tak dapat dimamfaatkan dan tak berfaedah bagi dirinya, mereka bagaikan lilin membakar diri, orang diuntungkan sementara dirinya dibakar.
Dalam keadaan rang mudo belum bisa mendayagunakan pengetahuan bagi kebesaran dirinya, saat itu pula mereka sulit berperan sesuai fungsinya parik paga di nagari. Karenanya, situasi dan pengetahuan yang dimiliki tak disia-siakan rang mudo untuk memperbaiki mutu kehidupannya. Orang Minang mengisyaratkan dalam petatahnya: anak-anak kato manggaduah, sabab manuruik sakandak hati, kabuik tarang hujanlah taduah, nan hilang patuik dicari. Artinya
Ketika suasana sudah baik, keadaan sudah pulih, adalah momentumnya menyempurnakan kehidupan.
Saat mutu kehidupan sudah baik, martabat kaum sudah terangkat, nan mudo disukai orang, saat itu fungsi rang mudo muncul dan terangkat. Tetapi sebaliknya martabat tidak terangkat, rang mudo tak berperan sebagai paga nagari, menjadi petaka bagi nagari, kamanakan sengsara dan mendorong kemelararan. Posisi rang mudo yang elok itu mamaga nagari tergambar dari bidal orang Minang: elok tapian dek nan mudo, manjadi tuah pandapatan, kalau indak pandai jadi nakodoh alamaik kapa karam di daratan. Artinya, kalau nan mudo tak pandai mamaga nagari, membuat kamanakan bagaikan kapal karam di daratan. tujuan pulau harapanan tidak tercapai justru sebaliknya justru kemelaratan dan kesengsaraan akan mengambil bentuk kebinasaan pada lingkungan kehidupan di nagari.
Karena rang mudo juga pemimpin di Minang dengan fungsi sebagai paga nagari jangan binaso. Kata orang Minang: nan mudo pambimbiang dunia, nan capek kaki ringan tangan, acang-acang dalam nagari. Artinya para pemuda menjadi harapan masyarakat, bangsa dan negara, di tangan merekalah terletak maju mundurnya bangsa ke depan, karena mereka pemegang tongkat estapet kepemimoinan bangsa masa depan.
Secara empirik, jelas sekali tiada episode sejarah tanpa peran pemuda. Karenanya pula pemuda harus menghormati dirinya sendiri dengan berprilaku tenang dan damai tetapi tegas, bijaksana berbudi tinggi tetapi tangkas. Amanat orang Minang kepada mereka untuk berprilaku:
pado pai suruik nan labiah, samuik tapijak indak mati, alu tataruang patah tigo. Artinya dengan keluhuran pribadi, ketangkasan harus tetap dibangun, sekali layar terkembang pantang surut ke belakang, maju terus pantang mundur selama tidak melanggar norm agama dan adat.

IV.             Minangkabau: Mamak dan Anak atau Kamanakan
A.    Sadar hukum

Orang Minang dalam misi nagarinya, menginginkan di samping lingkungan lestari, wibawa pemimpin (mamak dan mandeh bapak) tegak, juga kualitas masyarakat meningkat (kamanakan dipinang urang) serta gangguan keamanan tidak ada sehingga Nagari aman santoso (kamtibmas baik dan sejahtera) dan hukum tegak. Justru orang Minang menjadikan adat sebagai aturan untuk menciptakan tertib sosial dan sadar hukum. Orang Minang menata dalam petatahnya: dek gantang di Bodi Caniago, ditapuang batu dilicak pinang, dituang adaik kalimbago, dimulai malukih undang-undang. Artinya cara nenek moyang membangun masyarakat dan kampung halamannya adalah membikin adat dan limbagonya menjadi aturan (hukum) yang kuat mengatur tertib sosial.
            Aturan (hukum) adat di nagari Minang cukup kuat dalam menyelesaikan sengketa dalam masyarakat adat, baik perdata maupun pidana (berat dan ringan). Hukum adat di nagari itu terdiri dari: (1) UU dalam nagari dan (2) UU nan-20 (terdiri dari UU nan-8 dan UU nan-12).

1.      UU dalam Nagari:
UU dalam nagari punya perinsip-prinsip hukum sbb.:
Salah tariak mangumbalikan – salah cotok malantiangkan
salah lulua mamuntahkan – salah cancang mambari pampeh
salah bunuh mambari diat – manyalang maantakan – utang
dibayia – piutang ditarimo – jauh hambatan – ampia
batariakan – baabu bajantiak – kuma basasah – sasek
suruik talangkah kumbali – gawa maubah – cabuah dibuang
adia dipakai – babatulan babayaran – balabiah katangah
basalahan bapatuik – buruak dipakai – lapuak dikajangi
usang dipabaharui – racik racik diapik – rusuh babujuk
tangih baantokan – jatuah basambuik – salah kapado Tuhan tobat – slah kapado manusia mintak mao – siriah dipulangkan kagagangnyo – pinang bapulangkan katampuaknyo – surang baragiah – sakutu bapapah (babala).

2.      UU-20
UU – 20 terdiri dari UU nan-8 dan UU nan-12, sbb.:
            a.  Nan-8 :
1)      Tikam – bunuah  = bukti mayat tabujua
2)      Upeh – racun  (ramuan racun) = bukti oleh dokter
3)      Samun – saka  = merampok di tempat sepi dan membunuh pemilik
4)      Maling – curi  = (rampok malam – siang)
5)      Sia – baka  =  (sunu bukti puntung suluah – bakar hangus)
6)      Umbuak – umbi  = (tipu persuasive – tipu dengan kekerasan)
7)      Sumbang – salah = pergaulan salah – asusila
8)      Dago – dagi = salah kapanakan pado mamak – salah mamak pado kapanakan (musyawarah, mamak berhenti diam-diam, kapanakan tidak demo kezaliman mamak, meski rajo salah disanggah…, kalau ada demo tidak orang minang).           
            b. UU-12 (UU-6 daulu dan UU-6 kudian)
                  UU-6 daulu (tuduhan)
1)      tatando – tabeti
2)      taikek – takungkuang
3)      talala – takaja
4)      tacancang – tarageh
5)      tatambang – ciak
6)      tatangkok dengan salahnyo
            -     UU-6 kudian (cemo) – alasan dugaan
a.       bajajak bak bakiak – basuriah bak sipasin
b.      tabayang – tatabua
c.       kacondongan mato nan banyak
d.      anggang lalu antah jatuah
e.       tasindorong jajak manurun – tatukiak jajak mandaki
f.       bajajak barunuik

B.     Tagak di suku/ kampung dan di nagari


Di Minang, tanggung jawab anak muda pada nagari, sekarang mulai dimandulkan oleh materil. Serba uang tidak saja merusak upaya penegakan hukum, tetapi juga merusak perinsip kekeluargaan dan gotong royong. Justru gotong royong anak muda di jalan raya dibarengi fenomena baru, mencegat mobil dan minta uang. Mental budaya lama bankrut. Budaya lama yang muda goro dan rundo sudah tidak menggeliat lagi. Orang tua suka senang-senang. Semarak alam rami anak nagari, tak tahu lagi menghargai nilai. Waktu alek nagari, mamak, kamanakan dan sumando dihadapkan pada tontonan yang sama “organ tunggal” dengan artis tak berpakaian menari di pentang. Basulua mato hari bagalanggang mato rang banyak. Sekarang “… budaya hedonisme sudah menjadi bagian rutin hiburan masyarakat, terutama kalangan muda” (Hasri, Lindo, 2003). Kadang prilaku itu jadi cemo nagari.
Penghulu seperti tidak berkutik dalam fenomena itu. Penghulu justru tidak lagi punya surau suku (bahkan balai) menjadi simbol budi di tengah-tengah era otonomi daerah dengan sistem kembali ke nagari berbasis surau. Surau yang mana lagi yang boleh menjadi simbol budi bagi ninik mamak. Masjid, tidak lagi punya malin suluh bendang dalam nagari, ambisi membangun pisik kuat tak sebanding dengan pemakmurannya (mengisinya) dengan kegiatan dan meramikannya.
Bundo Kandung dan anak gadis cahayo rumah dan selendang dunia, tidak lagi di rumah, rmerawat bunga dan kumbang datang menyentuhnya. Justru, bunga yang mengejar kumbang. Quo vadis budaya dan adat salingka nagari?. Kepastian arah nagari, masih berharap pada tangan lelaki Minang dengan status kalau tidak kamanakan (di waktu kecil/ muda),pastilah  mamak (saat sudah menikah-tua). Lelaki Minang seharusnya terutama rang mudo, kembali memegang identitas sebagai lelaki Minang (ketek kapanakan, gadang mamak).
Karenanya semua unsur (mamak dan mandeh bapak dipayungi penghulu) dalam limbago adat harus kuat, tegas dan piawai dalam berperan memimpin anak kamanakan. Jangan seperti nasib anggang lalu atah jatuah balam sadundun jo marabah, Panghulu kalau takicuah, anak kamanakan namuah tajuah.Artinya, mandeh bapak dan ninik mamak dipayungi penghulu harus memperkuat perinsip idelogi adat dan akidah agama, sehingga tak mudah dipengaruhi orang dan budaya asing, yang berakibat fatal mengakibatkan kehancuran anak kamanakan (rakyat) yang dipimpinnya. Dijaga mereka agar tidak terperosok ke kancah disintegrasi sosial, yang sering tergoda rancaknya budaya luar, tanpa memahami sepenuhnya yang substansinya merusak budaya dan jati diri sendiri, dan meninggalkan budaya sendiri sebagai identitas yang sudah dipahami dan dibutktikan kemampuannya efektif mengatur tertib sosial masyarakat adat Minang. Ini satu lagi yang menjadi peran yang substnsial dimainkan ninik mamak dan rang mudo di Minang.

V.                Penutup

Akhirnya dapat disimpulkan, peran ninik mamak sharing rang mudo (anak kamanakan), penting dalam membangun nagari membangun Minang. Membangun Indonesia banyak, tapi membangun Minang tidak ada yang lain selain peran ninik mamak yang dalam limbago adatnya mencakup rang mudo. Berperan dimaksud, ninik mamak dan pemuda aktif dalam berbagai kegiatan untuk membangun nagari, dijago adat jan binaso, diwujudkan visi nagari seperti disebut Yuzirwan Dt. PGP Gajah Tongga (2009) yakni: “Bumi Sanang       (lingkungan lestari), padi masak (jaminan ekonomi), jaguang maupiah (jaminan ekonomi), taranak bakambang biak (jaminan ekonomi), bapak sati (wibawa pemimpin), mande batuah    (wibawa pemimpin), mamak disambah urang (wibawa pemimpin), kamanakan dipinang urang pulo (kualitas masyarakat) dan Nagari aman santoso (kamtibmas - sejahtera).
Tak kurang dalam berperan ninik mamak dan pemuda di Minang, tetap membangun kesadaran dan kearifan secara terus menerus bagi peningkatan kualitas hidup orang Minang. Limpato batang sitawa, digulai cubadak mudo, lah biaso kito tasalah, karano pangana indak sakali tibo, artinya kekilafan dan kesalahan disadari sebagai sifat manusia tetapi tetap sadar dan terus berfikir, karena memang pemikiran tidak sekali tumbuh.
Rami pasa koto tuo, rami dek anak kalua pagi, hinggo ini carito kito, nanti disambung hanyo lai. Salasih di ateh kayu, daunnyo salai-salai jatuah kabawah/ tarimo kasih – thank you and syukran jazila.***
Padang, 4 Desember 2012
Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo
HUBUNGAN ANAK DENGAN KELUARGA LUAS DI MINANGKABAU
Oleh
Witrianto[1]
Hubungan Anak dengan Saudara Sepupu
Dalam masyarakat Minangkabau, baik pola ideal maupun pola aktual, hubungan seseorang dengan saudara sepupunya adalah hubungan yang terdekat setelah dengan saudara kandung. Di Minangkabau, saudara sepupu yang dianggap paling dekat adalah saudara sepupu sanak ibu, yaitu saudara sepupu yang terjadi karena ibu mereka bersaudara. Hubungan mereka sangat dekat karena mereka masih dalam satu suku dan menurut adat tidak boleh saling mengawini. Hubungan mereka sehari-hari bagaikan orang yang bersaudara kandung, apalagi kalau mereka masih tinggal serumah atau berdekatan rumah. Mereka hidup saling kasih-mengasihi dalam berbagai segi kehidupan.
Dalam pola aktual sekarang ini, banyak anak-anak Minangkabau yang tinggal dengan saudara ibu atau dengan saudara-saudara sepupunya yang kebetulan tinggal di kota-kota besar, jika mereka hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yang biasanya hanya ada di kota-kota besar, sementara ibunya masih tinggal di kampung. Dalam banyak kasus, biaya sekolah mereka bahkan ikut ditanggung oleh saudara ibunya atau saudara sepupunya, jika ibunya tidak mampu membiayai pendidikannya.
Hubungan seorang anak dengan saudara sepupu yang berasal dari anak saudara laki-laki ibu (mamak) tidak begitu dekat. Menurut adat mereka tidak dianggap bersaudara, sehingga boleh saling mengawini. Bahkan perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau adalah kawin dengan anak mamak, sehingga istri mamak pun dipanggil mintuo (mertua), meskipun dia tidak menikah dengan anak mamaknya.
Hubungan anak dengan saudara sepupu yang berasal dari saudara ayah, baik saudara perempuan ayah maupun saudara laki-laki ayah, tidak jauh berbeda dengan hubungannya dengan anak mamak. Menurut adat mereka tidak dianggap bersaudara. Anak saudara perempuan ayah oleh sang anak disebut bako, sedangkan anak dari saudara laki-laki ayah disebut sabako (satu bako), karena mereka memiliki bako yang sama.
Hubungan anak dengan saudara sepupu yang bukan anak dari saudara perempuan ibunya lebih banyak bersifat saling hormat-menghormati dan saling menghargai saja. Hal ini mereka lakukan karena mereka sadar bahwa di antara mereka masih ada hubungan darah, walaupun mereka memiliki suku yang berbeda, sehingga secara adat mereka tidak dianggap bersaudara.
Hubungan Anak dengan Saudara Ibu
Dalam masyarakat Minangkabau, hubungan antara anak dengan saudara-saudara ibunya dibedakan antara hubungan dengan saudara laki-laki ibu dan dengan saudara perempuan ibu. Hubungan dengan saudara laki-laki ibu disebut hubungan kekerabatan mamak dengan kemenakan. Sedangkan hubungan dengan saudara ibu yang perempuan dianggap sama dengan hubungan antara anak dengan ibunya. Saudara laki-laki ibu disebut mamak yang dipanggil dengan sebutan mak uwo (mamak yang paling tua), mak angah (mamak yang pertengahan), dan mak etek (mamak yang paling kecil). Saudara perempuan ibu dipanggil uwo (jika lebih tua dari ibu), angah (jika berada di pertengahan dalam urutan bersaudara, bisa lebih tua ataupun lebih muda dari ibu), dan etek (jika lebih muda dari ibu).
Hubungan anak dengan saudara-saudara ibunya inilah yang dianggap paling penting di samping hubungan anak dengan ayah ibunya dalam struktur kekerabatan orang Minangkabau. Hubungan inilah yang mendasari sistem kekerabatan etnis Minangkabau yang menarik garis keturunan dari ibu. Hubungan ini adalah hubungan saparuik, artinya orang-orang yang dilahirkan dari satu nenek. Oleh karena itu, dalam adat Minangkabau (juga menurut ajaran Islam) mereka tidak boleh saling mengawini karena dianggap bersaudara.
Dalam pola ideal di Minangkabau, saudara laki-laki ibu (mamak) punya kewajiban membimbing, mengajari, bahkan membiayai hidup kemenakannya. Bimbingan yang diminta atau dituntut dari saudara laki-laki ibu adalah berkenaan dengan fungsinya sebagai mamak di lingkungan sosial yang terkecil atau paruik, sampai ke lingkungan sosial yang lebih besar, yaitu kaum, suku, dan nagari.
Bimbingan terhadap kemenakan perempuan meliputi persiapan untuk menyambut waris dan persiapan untuk melanjutkan keturunan. Hal ini dianggap penting, karena bagi orang Minangkabau, keluhuran suatu rumah gadang, kaum, suku, dan nagari, dilihat dari perilaku lahir dan batin perempuan-perempuan anggota masing-masing lingkungan sosial tersebut. Peranan dan tanggung jawab tertentu mengenai cara-cara menyambut waris dan cara-cara persiapan melanjutkan turunan diberikan oleh mamak-mamaknya melalui saudara perempuan ibunya.
Bimbingan terhadap kemanakan laki-laki meliputi pemeliharaan, penambahan, serta penggunaan harta pusaka. Peranan dan tanggung jawab memelihara, manambah, dan menggunakan pusaka itu berada pada mamak. Kemenakan laki-laki dipersiapkan menjadi mamak dengan memberikan peranan-peranan dan tanggung jawab tertentu mengenai cara-cara pemeliharaan dan penambahan, serta penggunaan pusaka mereka.
Bagi kemenakan, masa bimbingan yang diberikan oleh mamaknya merupakan masa pengembangan kepribadian sosialnya. Ia belajar dari mamak-mamaknya tentang dasar-dasar dan prinsip tanggung jawab sebagai seorang mamak, pemimpin dan anggota lingkungan sosial yang lebih luas. Hubungan kekerabatan mamak dan kemenakan merupakan tali kerabat yang tumbuh berkembang dengan keperluan untuk kesinambungan dan kestabilan kepemimpinan. Pada tingkat kaum, fungsi kepemimpinan dilambangkan dengan suatu gelar kebesaran milik bersama dengan status pusako tinggi.
Gelar kebesaran beserta lambang-lambangnya merupakan satu-satunya warisan yang tidak akan didapat oleh kemenakan perempuan, sebaliknya inilah satu-satunya warisan yang diperoleh oleh kemenakan laki-laki, beserta dengan segala wewenang, legitimasi, dan kewajiban-kewajiban yang melekat dengannya. Dapatlah dipahami, bahwa yang menjadi isi dari kekerabatan mamak-kemenakan itu adalah terjaminnya kesinambungan dan kestabilan penurunan dari satu generasi ke generasi berikutnya atas unsur-unsur turunan manusia, harta pusaka, dan gelar kebesaran yang melambangkan kepemimpinan seorang mamak dengan segala kewenangan serta kewajiban-kewajibannya.
Dalam pola aktual sekarang ini, hubungan kekerabatan mamak-kemenakan sudah mulai mengalami erosi, hanya tinggal nama saja lagi. Yang masih dapat dipertahankan adalah garis keturunan tetap pada yang perempuan dan gelar pusaka tetap diberikan kepada kemenakan laki-laki. Penghormatan seorang anak kepada saudara-saudara ibunya sudah mulai berkurang, bahkan banyak yang sudah tidak mengerti apa yang dimaksud dengan hubungan mamak-kemenakan menurut adat Minangkabau. Anak tersebut tidak dapat dipersalahkan, karena mereka memang tidak pernah lagi dididik oleh mamaknya mengenai adat istiadat. Mamak sekarang ini lebih banyak, bahkan hampir semua waktunya dihabiskan dengan kesibukan mencari nafkah untuk anak dan istrinya, sehingga dia tidak punya waktu lagi untuk membimbing kemenakannya. Sementara itu para kemenakan saat ini sudah sibuk pula dengan belajar atau bekerja mencari nafkah untuk membantu orangtuanya, sehingga hampir tidak ada lagi waktu untuk mempelajari adat-istiadat.
Hal lain yang menyebabkan semakin renggangnya hubungan antara mamak dan kemenakan adalah banyaknya tingkah laku para mamak yang tidak disenangi oleh kemenakannya. Banyak mamak yang bertindak sewenang-wenang atas harta pusaka, bahkan banyak di antaranya yang menjual dan menggadaikan harta pusaka untuk kepentingan pribadinya atau untuk kepentingan anak istrinya. Hal-hal seperti ini banyak menimbulkan pertentangan antara mamak dengan kemenakan, yang bahkan ada yang sampai berlanjut kepada masalah pidana, seperti kemenakan membunuh mamaknya karena kasus tanah harta pusaka. Barangkali itulah dampak globalisasi dari suatu proses perubahan sosial dalam masyarakat yang menyentuh nilai-nilai kekerabatan etnis Minangkabau sekarang ini. Kebutuhan materil yang meningkat karena perubahan sosial, lapangan kerja yang kurang, telah menyebabkan timbulnya problem-problem sosial di tengah-tengah masyarakat Minangkabau sekarang ini.
Hubungan Anak dengan Saudara Ayah
Dalam masyarakat Minangkabau, hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan saudara-saudara ayahnya, disebut dengan istilah hubungan kekerabatan bako dengan anak pisang. Yang disebut dengan bako adalah saudara-saudara ayah ditambah dengan anak-anak saudara perempuan ayah. Sementara itu yang disebut dengan anak pisang adalah orang-orang yang ayahnya berasal dari keluarga tersebut, atau jika dilihat dari sisi keluarga bako, anak pisang adalah anak-anak dari saudara laki-laki ibunya.
Saudara laki-laki ayah oleh seorang anak dipanggil dengan sebutan pak uwo, (jika lebih tua dari ayah) dan pak etek (jika lebih muda dari ayah). Saudara perempuan ayah dipanggil dengan sebutan uwo (jika lebih tua dari ayah) dan etek (jika lebih muda dari ayah). Dalam pola ideal, hubungan antara seorang anak dengan saudara ayahnya termasuk hubungan penting, yaitu hubungan yang bersifat status dan penghormatan. Hubungan bersifat status maksudnya adalah bahwa anak tersebut adalah titisan dari ayahnya yang berasal dari keluarga tersebut. Kalau ayahnya berasal dari keluarga baik-baik dan terpandang, maka anaknya akan cukup disegani pula oleh masyarakat, begitu juga sebaliknya. Hubungan bersifat penghormatan ialah karena orang Minangkabau sangat malu kalau anak-anaknya tidak punya bako yang jelas, yang menunjukkan bahwa ayahnya tidak memiliki asal-usul dan keturunan yang jelas, walaupun memiliki harta yang banyak, masyarakat tidak akan menaruh simpati atau hormat kepadanya. Jika ia mempunyai bako, berarti ayahnya mempunyai kaum dan suku. Orang Minangkabau sangat memandang rendah dan hina bila seseorang tidak mempunyai suku, karena hal itu menunjukkan bahwa orang tersebut tidak jelas asal-usulnya.
Dalam pola ideal, hubungan bako dengan anak pisang harus baik. Jika hubungan tersebut tidak baik, berarti anak tidak menghargai keluarga ayahnya, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak terpuji di mata masyarakat. Bako mempunyai peranan dalam dalam proses sosialisasi seorang anak pisang, terutama anak perempuan. Ketika masih remaja, anak perempuan untuk beberapa waktu harus tinggal di rumah bakonya. Bimbingan itu lebih bersifat mendidik anak-anak perempuan untuk kehidupan berumahtangga di kemudian hari, yang kemungkinan suaminya adalah laki-laki dari keluarga bakonya Perkawinan seperti ini merupakan perkawinan yang ideal menurut adat Minangkabau, yang dikenal dengan istilah pulang ka anak mamak, jika yang menikah dengan bakonya adalah perempuan, dan pulang ka bako, jika yang menikah dengan bakonya adalah laki-laki.
Keluarga bako juga mempunyai kewajiban untuk mendidik dan membiayai anak-anak yang ayahnya sudah meninggal dengan memberikan sebagian hasil sawah atau ladang setiap kali panen. Pada upacara-upacara adat seperti, perkawinan, kematian, aqiqah, khatam Al-Quran, kelahiran, turun mandi, dan sebagainya, keluarga bako akan membantu acara tersebut, baik moril maupun materil.
Dalam pola aktual sekarang ini, hubungan antara bako dengan anak pisang sudah sangat berkurang, bahkan anak-anak banyak yang tidak mengetahui siapa saja bako atau anak pisangnya, bahkan ada yang tidak mengerti dengan istilah bako dan anak pisang. Hal ini disebabkan karena tempat tinggal yang sudah berjauhan dan tidak lagi mengelompok dalam satu kaum seperti pola ideal. Penyebab lainnya adalah peranan mamak yang sudah berkurang dalam masyarakat dalam mendidik para kemenakannya, sehingga anak-anak sekarang sebagian besar tidak mengerti dengan masalah-masalah adat yang harus mereka ketahui.

[1] Penulis adalah staf pengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.